Kamis (20/9/2018) pagi, saat yang lain bergegas berangkat kerja, Sutino Hadi (60) yang akrab disapa Kinong, memulai harinya dengan mencuci bemonya di pinggir Jalan Karet Pasar Baru Barat II, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Setahun terakhir, Kinong lebih banyak memiliki waktu luang, tepatnya sejak bemo benar-benar dilarang beroperasi di Jakarta. Dulu, pagi-pagi benar, Kinong sudah narik bemo. Sekitar pukul 09.00, Kinong kembali ke rumah dan mengendarai bemo yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tempat duduk penumpangnya menjadi tempat rak buku. Dengan bemo—yang disebutnya bemo baca—itu, ia berkeliling ke sekolah-sekolah di kawasan Karet Tengsin, Tanah Abang.
“Dulu biasanya dari jam 9 hingga pulang sekolah, saya nongkrong di depan sekolah, menjaga perpustakaan keliling,” kata Kinong. “Setiap hari, saya nyamperin bergantian sekolah-sekolah di sekitar Karet Tengsin ini, mulai dari PAUD hingga SMP. Senang rasanya melihat anak-anak pada rajin membaca.”
Kegiatan sosial ini dia jalankan sejak tahun 2013 berkat bantuan pengusaha dan pegiat pendidikan. Kini, kegiatan itu berangsur redup. “Sejak bemo dilarang beroperasi, saya tidak punya pekerjaan lagi. Dulu uang hasil narik bemo, sebagian untuk rumah, sebagian lagi untuk operasional bemo baca ini,” kata Kinong.
Untuk sekali jalan ke sekolah, bemo baca butuh 3-5 liter bahan bakar. "Sekarang saya dapat duit itu dari mana? Untuk makan saja susah,” lanjutnya setengah mengeluh.
Kini, saban sore Kinong ditemani istri dan anak bungsunya berjualan nasi rames di atas bemo baca di kolong jalan raya Karet Bivak. “Pelanggannya ya teman-teman saya, bekas sopir bemo juga yang sekarang narik pakai bajaj biru. Lumayan, sehari saya bisa ngejual sekitar 10 porsi nasi rames.”
Sembari berjualan itulah, Kinong membuka gerai bemo baca agar koleksinya yang mencapai sekitar 300 buku tetap bermanfaat. "Sebenarnya, kalau buka perpustakaan disini, jarang anak kecil yang mampir. Lokasinya kurang bagus,” terang Kinong.
Bagi Kinong, membuka perpustakaan seperti panggilan jiwa. Ia tidak menuntut apa-apa agar kegiatannya itu terus berjalan. “Tapi ya bagaimana lagi, urusan dapur lebih penting. Kalau ada rezeki lebih, saya mampir ke sekolah untuk meminjamkan buku ini.”