Dalam sejarah Bahasa Indonesia, puitika Amir Hamzah dan Sanusi Pane merupakan satu dari sekian puncak estetika Pujangga Baru pada dekade 1930-an. Generasi berikutnya mengejar horizon baru dengan potensi baru sehingga lahir estetika Chairil Anwar dan Asrul Sani.
Setelah Republik Indonesia berdiri dan mengukuhkan kedudukan tak sebatas nama bahasa yang berinduk kepada peradaban Melayu, diksi dan puitika Pujangga Baru dianggap sebagai khazanah klasik karena pemujaan gunung dan nyiur melambai tidak lagi memenuhi hasrat manusia zaman bom atom. Pada Sutan Takdir Alisjahbana, semangat jiwa yang ingin bebas dari penjajahan tidak lepas dari profil “ombak”, “tebing curam”, dan “gunung pelindung” yang indah namun pasif bak arca di candi. Sedangkan Chairil dalam sajak “Diponegoro” memekik dengan kalimat langsung: “Bagimu negeri | Menyediakan api“ dan “Sekali berarti | Sudah itu mati.”
Diksi penulis dan orator mengukir jejak zaman. Perbendaharaan kata dan ujaran dalam artikulasi sosial di pasar dan upacara sakral, terlebih-lebih dalam peribahasa, bidal, pepatah-petitih, adalah catatan sejarah klasik. Menanggapi tuntutan zaman, gaya pemikir semacam Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, dan DN Aidit, misalnya, telah menyumbangkan kekayaan gaya bahasa kita.
Anak-anak Nusantara yang digodok api pendadaran orator dan penulis Zaman Bergerak dan Era Revolusi lantas menyaksikan birokrat pribumi menggantikan administrator kolonial. Orde Lama tidak luput dari korupsi pejabat. Kondisi bertambah parah akibat diksi dan langgam bahasa Orde Baru yang ditandai eufemisme yang komprehensif. Lebih dari tiga dekade pers dikendalikan oleh kuasa politik untuk mengenyam gaya tersebut.
Awak pers hasil pendidikan masa kini yang bekerja dalam iklim demokrasi pascareformasi ibarat benang-benang putus akibat rendahnya kompetensi berbahasa. Beda dengan transisi dari generasi Balai Pustaka dan Pujangga Baru ke generasi ’45—dari gaya ungkap anak laut, anak gunung, ke anak urban yang harus melepaskan asal primordial dan bersatu demi hasrat merdeka—itu bukan gejala alamiah, melainkan penyakit kemalasan. Mayoritas wartawan bagai tak terhubung dengan benang panjang jurnalis yang piawai berbahasa sejak RM Tirto Adhisoerjo, Adinegoro, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Goenawan Mohamad, sampai Bre Redana.
Guru bahasa dan pekerja pers memikul tanggung jawab spesial sebagai perajut benang peradaban pada era materialisme masa kini. Kasus pelecehan atas seorang guru Bahasa Indonesia di sekolah internasional oleh orang tua siswa yang bilang mata pelajarannya tidak berguna bukan hal sepele. Lapisan sosial atas seperti tak peduli anak mereka tak kenal landasan kebudayaan sejak Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, asal tahu Sir Thomas Stanford Raffles. Padahal, kolonialis itu menjarah keraton-keraton di Jawa. Susutnya pengenalan pada khazanah bahasa membuat generasi milenial terheran-heran mendapati kata nyinyir, juga tak tahu jika ayam berkokok, maka gajah mendering.
Bahasa ibarat sutra warisan yang kerap tidak sempurna; selalu robek tepinya di tangan ahli waris. Jika ditisik oleh yang peduli, koyak lagi oleh yang lain. Haruskah selalu begitu? Ahli waris yang ingin kedaulatan bangsanya selamat dari hegemoni politik global wajib menjaga pusakanya. Tak sekadar merajut benang baru, dia harus mencipta renda dan bordiran kontemporer pada sutra itu.
KURNIA JR, Pujangga