LONDON, SABTU — Tokoh Brexit yang juga mantan Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson semakin keras menentang Perdana Menteri Inggris Theresa May. Johnson, yang saat ini dianggap sebagai penantang terkuat dari Partai Konservatif untuk menggeser May, Jumat (28/9/2018), menyerukan agar May membuang proposal Brexit yang diberi nama ”Chequers” itu.
Johnson juga mengajukan rancangannya yang, menurut dia, jauh lebih baik dari Chequers. Bagi Johnson, Chequers akan membuat Inggris terbelah di mana sebagian keluar dan sebagian masuk.
”Ini adalah momentum untuk mengubah arah negosiasi dan memberikan yang pantas bagi ambisi Brexit,” tulis Johnson di harian Daily Telegraph.
Dalam tulisan bertajuk ”Rencana Saya untuk Brexit yang Lebih Baik”, Johnson mengusulkan model perdagangan bebas ala Kanada dengan Uni Eropa. Ia juga menyebutkan rencana UE terkait Irlandia Utara–di mana Bea dan Cukai Irlandia Utara yang merupakan bagian dari Inggris akan tetap masuk dalam aturan Uni Eropa–tak ubahnya seperti aneksasi ekonomi UE terhadap sebagian wilayah Inggris.
Rencana Johnson ini memperoleh dukungan dari para pembangkang di Konservatif, antar lain Jacob Rees-Mogg yang menginginkan Inggris putus hubungan secara total dengan UE.
”Ini merupakan kesempatan bagi Inggris untuk menjadi lebih dinamis dan lebih sukses, dan kita tak perlu ragu mengatakannya,” kata Rees-Mogg.
Tekanan besar
PM May, yang saat ini berjuang keras untuk mencapai kesepakatan perceraian dengan UE, akan menghadapi tekanan besar dalam kongres Partai Konservatif di Birmingham, Minggu (30/9/2018).
May berulang kali menyatakan bahwa proposal Chequers merupakan proposal Brexit yang paling mungkin untuk diterapkan.
Partai Konservatif saat ini terbelah, yaitu antara kubu yang menganggap Chequers terlalu lunak pada UE (hard Brexit) yang tokohnya antara lain Boris Johnson, dan kubu yang menganggap Chequers terlalu jauh dari UE dan berharap Inggris tetap berada dalam pasar tunggal Eropa.
Di kubu oposisi, Partai Buruh sudah jelas menyatakan akan menolak Chequers. Namun, mereka juga tak ingin Brexit berakhir tanpa kesepakatan karena akan berbahaya bagi Inggris.
”Kami tidak melakukan negosiasi karena kami bukan pemerintah. Namun, ia (Barnier) tertarik mengetahui pandangan kami atas ’enam tes’ (syarat) yang diajukan Buruh jika kami berada di pemerintahan, antara lain melindungi lapangan kerja dan juga kesepakatan perdagangan di masa depan dengan Uni Eropa,” kata Corbyn.
Sesuai dengan hasil kongres Partai Buruh, Corbyn mengingatkan PM May bahwa jika May tak mampu menghasilkan kesepakatan dengan UE yang sesuai dengan enam tes, May harus memberi jalan bagi partai yang mampu melakukannya, yaitu dengan pemilihan umum baru.
Namun, rencana Corbyn juga sulit diwujudkan karena terkendala waktu. Berdasarkan Pasal 50 Traktat UE, Inggris akan meninggalkan Uni Eropa pada 30 Maret 2019, dengan atau tanpa kesepakatan. Kesepakatan Inggris-UE terlebih dulu harus disahkan oleh parlemen Inggris dan parlemen UE. Dengan demikian, pada Oktober 2018 diharapkan parlemen setiap negara sudah memiliki hasil kesepakatan.
Dengan jadwal yang sempit seperti itu, sepertinya sulit bagi Corbyn untuk membuang usulan May dan menegosiasikan paket Brexit usulan Buruh.
Sejauh ini, para pemimpin UE menginginkan Brexit berakhir dengan kesepakatan karena tanpa kesepakatan akan berdampak buruk bagi ekonomi kedua pihak. Meski demikian, UE sudah mempersiapkan tindakan darurat jika akhirnya kesepakatan itu tak tercapai. (AFP/REUTERS)