Izin Rentan Bocor
Badan Legislasi DPR diminta berhati-hati dalam menyusun RUU Penyadapan agar tidak malah menghambat penanganan perkara kejahatan luar biasa.
JAKARTA, KOMPAS - Badan Legislasi DPR diminta untuk hati-hati dalam menyusun draf Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan. Selain tidak mendesak, substansi yang diatur di dalam draf RUU tersebut dikhawatirkan menghambat penanganan perkara kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
Ketentuan yang dimaksud adalah perlunya penetapan ketua pengadilan tinggi jika lembaga penegak hukum akan melakukan penyadapan. Pengurusan izin pengadilan itu rentan bocor sehingga kegiatan penegak hukum berpotensi terganggu.
”Jika aturan baru dibuat tidak secara hati-hati, bukan tidak mungkin kerja KPK akan terhambat, termasuk ketika operasi tangkap tangan. Karena itu, KPK mengajak kepada pihak yang memiliki kewenangan pembentuk UU agar memahami kebutuhan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi,” ujar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Jumat (28/9/2018), di Jakarta.
Selama ini, KPK melakukan penyadapan dengan mendasarkan diri pada Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Penyadapan banyak membantu kerja KPK. Setidaknya 93 perkara tangkap tangan dengan jumlah tersangka awal 324 orang berhasil dilakukan atas kontribusi penyadapan dan pelaporan oleh masyarakat.
Saat ini Baleg DPR tengah menyusun draf RUU Penyadapan yang memuat ketentuan lembaga penegak hukum harus berkoordinasi dengan pengadilan jika melakukan penyadapan. Sebelum menyadap, penegak hukum perlu mengajukan permohonan penetapan kepada ketua pengadilan tinggi (Kompas, 28/9/2018).
”Pada prinsipnya, KPK berharap aturan yang dibuat jangan sampai memperlemah upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan serius lainnya, seperti terorisme dan narkotika. Prosedur yang menghambat dan berisiko terhadap investigasi kasus semestinya diminimalisasi,” ujar Agus.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, berpendapat, doktrin tentang penyadapan tidak bisa diartikan secara umum.
”Artinya, untuk kasus yang khusus dengan pertimbangan kondisi yang bahaya dan darurat sifatnya, seperti korupsi, narkotika, hingga keamanan nasional, berlaku sadap yang eksepsional dan memberikan otoritas penuh kepada penegak hukum sehingga tidak perlu izin tertentu dari pengadilan,” kata Indriyanto.
Menurut Indriyanto, apabila ada dugaan penyalahgunaan penyadapan, hal itu dapat diuji melalui praperadilan. ”Lagi pula aturan setiap lembaga negara tentang penyadapan sudah cukup baik. Ini juga bukan suatu kebutuhan mendesak. Jadi, Baleg DPR harus hati-hati,” kata Indriyanto.
Lembaga khusus
Pembentukan lembaga khusus dipertimbangkan sebagai opsi untuk menjawab kekhawatiran oknum pengadilan akan membocorkan rencana penyadapan oleh aparat penegak hukum. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, lembaga khusus yang dipertimbangkan fraksinya sebagai opsi itu adalah lembaga yang tugasnya memberikan izin penyadapan yang diajukan aparat penegak hukum. Selain itu, mengawasi atau mengaudit penyadapan yang telah dilakukan aparat.
Lembaga ini diisi orang-orang yang tak hanya memiliki kapasitas tetapi integritasnya teruji. Selain itu, mereka bukan aparat penegak hukum. Dengan demikian, dia menilai, kekhawatiran rencana penyadapan akan bocor, bisa dicegah.
Lagipula, menurutnya, mekanisme memohon penetapan lembaga peradilan seperti tertera di draf RUU Penyadapan, mengandung kelemahan lain, yaitu prosesnya hanya formalitas. Artinya, setiap pengajuan penyadapan pasti dikeluarkan penetapannya oleh lembaga peradilan tanpa diteliti dulu keabsahannya.
“Jadi lebih baik diserahkan ke lembaga khusus penyadapan itu. Mereka bisa meneliti keabsahannya, dan selama mereka meneliti, izin sementara bisa diberikan ke aparat untuk menyadap. Jadi tidak mengganggu penegakan hukum,” jelasnya.
Terlepas dari itu, perlunya perizinan penyadapan, termasuk pengawasan dan audit penyadapan, diserahkan ke lembaga lain di luar aparat penegak hukum, menurutnya, penting untuk mencegah kewenangan penyadapan disalahgunakan. “Tidak bisa kewenangan itu berada di internal lembaga penegak hukum. Kalau begitu, jadinya seperti jeruk makan jeruk,” tambahnya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi pun menilai hal yang sama. Ini penting agar penyadapan oleh aparat tidak justru melanggar hak asasi manusia. Meski demikian, dia lebih memilih seperti yang tertera di draf RUU Penyadapan. Artinya, diserahkan kepada lembaga peradilan.
“Harus ada keyakinan dan kepercayaan dari publik, bahwa lembaga peradilan bisa menjalankan tugasnya itu. Kalau kita tidak percaya, ya tidak perlu ada lembaga tersebut,” katanya.
Kalaupun ada oknum di lembaga peradilan yang beberapa kali tertangkap karena berbuat pidana, salah satunya korupsi, dia meminta agar publik tidak lantas menjustifikasi bahwa seluruh orang di lembaga peradilan jahat. “Di lembaga manapun, oknum itu selalu ada tetapi di luar itu, masih banyak yang baik,” ujarnya.