JAKARTA, KOMPAS – Penyakit demensia alzheimer atau sering disebut alzheimer merupakan penyakit khas orang usia lanjut. Semakin tua seseorang, risiko mengalami alzheimer semakin tinggi. Namun, gaya hidup tidak sehat dan masalah psikologis, seperti kesepian, meningkatkan risiko seseorang terkena alzheimer.
Dokter spesialis penyakit saraf dari Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta, Yuda Turana, mengatakan hal tersebut di sela-sela peresmian Atma Jaya-Alzheimer Indonesia (ATZI) Centre of Excellence, pusat pelayanan terpadu demensia alzheimer di Jakarta, Jumat (28/9/2018).
Alzheimer adalah suatu kondisi gangguan kognitif yang progresif. Kelainan ini ditandai dengan penurunan daya ingat, penurunan kemampuan berpikir dan berbicara, hingga perubahan perilaku. Umumnya, pengidap alzheimer berusia di atas 60 tahun.
“Secara sederhana, penyakit alzheimer adalah penyakit yang mempercepat penuaan di otak. Siapa pun kita pasti akan tua, tetapi masalah cepat atau lambatnya, itu relatif. Penyakit alzheimer mempercepat penuaan di otak,” kata Yuda yang juga menjabat Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta ini.
Menurut Yuda, faktor risiko penyakit demensia alzheimer mirip dengan penyakit jantung. Orang yang mengalami hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan merokok berisiko terkena penyakit jantung. “Yang tidak baik buat jantung, juga tidak baik buat otak. Tetapi, ada tambahan faktor risiko lainnya, yaitu perasaan kesepian (loneliness),” kata Yuda.
Yang tidak baik buat jantung, juga tidak baik buat otak. Tetapi, ada tambahan faktor risiko lainnya, yaitu perasaan kesepian.
Perasaan kesepian yang dimaksud tidak terbatas pada seseorang yang tinggal sendirian. Seseorang yang tinggal bersama anggota keluarganya yang banyak, sering pula merasa kesepian atau tidak diperhatikan. Perasaan kesepian jangka panjang meningkatkan risiko seseorang terkena alzheimer.
“Orang yang mengalami kesepian imunitasnya menurun, fungsi organ tidak optimal, jaringan sel saraf menurun, stimulasi tidak ada, dan berpikir negatif,” ujarnya. Kondisi ini turut menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
Berdasarkan Laporan Alzheimer’s Disease Indonesia, pada 2015, ada 1,2 juta warga Indonesia mengalami demensia. Angkanya diprediksi naik menjadi 2,2 juta jiwa pada 2030 dan 4 juta jiwa pada 2050.
Deteksi dini
Yuda mengatakan, belum ditemukan obat untuk menyembuhkan pengidap demensia alzheimer secara total. Meski demikian, laju penurunan fungsi kognitifnya bisa diperlambat. Untuk mencapainya, faktor risiko perlu dihindari dengan pola makan dan gaya hidup sehat serta deteksi dini penyakit.
Deteksi dini mencegah penyakit alzheimer ditemukan dalam kondisi parah. Pengidap alzheimer mulanya mengalami gangguan kognitif. Jika dibiarkan, lambat laun bisa terjadi gangguan perilaku, seperti mengamuk tidak jelas, emosi, hingga halusinasi.
“Permasalahannya, gejala lupa pada orang tua sering dianggap sepele dan wajar sehingga sering ditemukan alzheimer dalam kondisi parah. Biasanya diketahui pada fase gangguan prilaku, ini sudah sangat telat. Lupa bukan bagian dari proses penuaan normal. Artinya, kalau sudah lupa, segera deteksi dini,” ujarnya.
Lupa bukan bagian dari proses penuaan normal. Artinya, kalau sudah lupa, segera deteksi dini.
Direktur Regional Asia Pacific Alzheimer Disease International DY Suharya menambahkan, deteksi dini diperlukan untuk menjaga kualitas hidup pengidap alzheimer. Semakin cepat orang mendapat diagnosa, kualitas hidupnya akan semakin baik.
Salah satu cara untuk memperlambat penurunan fungsi otak pada pengidap alzheimer adalah melakukan aktivitas yang menyenangkan. Aktivitas menyenangkan akan membuat otak tetap aktif sehingga penurunan fungsi kognitif bisa diperlambat.
“Bukan sekadar beraktivitas, tetapi aktivitas yang menyenangkan. Ada yang mengatakan main sudoku bisa menjadi alternatif. Namun, kalau orangtua tidak menyukai sudoku, fungsi kognitifnya tetap menurun. Yang terpenting adalah ada kesenangan dalam mengerjakannya,” ujar Yuda. (YOLA SASTRA)