Letak Geografis Kota Palu Tingkatkan Daya Rusak Tsunami
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Letak geografis Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang berada di teluk menambah daya rusak tsunami. Tidak direkomendasikan dihuni, kawasan pesisir Kota Palu dihuni banyak penduduk.
"Keberadaan teluk bisa menguatkan efek gelombang tsunami. Energi yang masuk melalui celah teluk yang menyempit menambah tekanan gelombang tsunami,” ujar Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Sri Hidayati di Bandung, Sabtu (29/9/2018).
Sebelumnya, gempa dengan M 7,4 mengguncang Donggala hingga Palu dipicu Sesar Palu-Koro dengan kedalaman 11 km. Daerah ini merupakan zona merah dengan potensi intensitas guncangan tinggi. Sesar Palu-Koro memanjang melintasi barat Donggala hingga membelah Palu. Titik gempa tersebut berada sekitar 100 kilometer di utara Kota Palu.
“Gempa yang terpusat di Donggala terjadi di darat. Namun, sobekan gempanya bisa mencapai laut. Runtuhan di laut itulah yang mungkin memicu tsunami,” tuturnya.
Potensi itu, kata Sri, sudah dipetakan sejak lama. Dalam peta potensi tsunami yang diterbitkan badan Geologi tahun 2016, terlihat hampir seluruh pesisir pantai kota Palu. Daerah tersebut seharusnya tidak dihuni penduduk karena berpotensi besar terkena hempasan tsunami. Namun, beberapa titik di zona utara Palu tersebut diidentifikasi sebagai kawasan padat penduduk.
Terkait penanganan pascatsunami, PVMBG mengirimkan tim pemetaan kerusakan geologi karena ada kemungkinan pergesaran rupa bumi atau retakan. Sri berharap potensi gempa susulan yang lebih besar tidak terjadi. Dia tetap menghimbau masyarakat tetap waspada karena sesar Palu-Koro hingga kini masih aktif.
Peringatan juga diberikan untuk semua daerah dengan potensi gempa tinggi. Jika gempa yang terjadi di dekat laut atau di laut dideteksi memiliki magnitudo lebih dari 7 dengan posisi dangkal berkedalaman kurang dari 15 kilometer, Sri meminta warga yang berada di pantai segera meninggalkan pesisir.
“Masyarakat harus sadar, hidup di Indonesia memiliki konsekuensi. Negara ini kondisi tektonik aktif, pertemuan tiga lempang aktif dunia. Kita tidak tahu kapan musibah akan terjadi. Jadi, kita yang harus menyesuaikan hidup dengan alam,” ujarnya.