Palestina di Jantung Diplomasi RI
Menghadapi Amerika Serikat yang pemerintahannya saat ini dikenal paling pro-Israel sejak 1948, Indonesia menggunakan semua forum untuk memperjuangkan Palestina di DK PBB.
Sejauh apa pun manusia terbang, ia akan kembali mendarat di bumi. Setinggi apa pun seorang astronot mengorbit bumi, ia pun akan kembali ke planet biru itu. Bagi manusia, bumilah satu-satunya tempat ia dapat hidup, berbagi suka, duka, dan harapan.
Dari atas ketinggian sekitar 34.000 kaki atau lebih dari 11 kilometer di atas permukaan air, Boeing 787 yang dioperasikan oleh sebuah maskapai dari Jepang terbang dengan tenang menembusi awan. Jauh di bawah, tampak Samudra Pasifik yang mulai lelap menjelang gelap.
Namun, dari ketinggian di mana bumi tampak begitu teduh, tatanan dunia tampaknya tengah menghadapi perubahan. Ketika konflik di Suriah berangsur-angsur mereda, Amerika Serikat— negara adidaya yang selama ini menjadi salah satu soko guru kerja sama multilateral—justru berangsur-angsur menarik diri.
Pilihan-pilihan politik Washington—salah satunya atas isu Israel dan Jerusalem—membuat AS memutuskan mundur dari kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Selain itu, keputusan Presiden Donald Trump memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem juga berdampak pada ketidakjelasan perundingan damai Palestina. Meski AS menjanjikan akan mengajukan rencana baru, hingga saat ini tawaran itu belum kunjung hadir.
Yang memprihatinkan, ekses lain dari kebijakan itu adalah dihentikannya bantuan pendanaan oleh AS untuk Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurus pengungsi Palestina. Padahal, selama ini, AS adalah donor utama badan itu.
Tantangan Indonesia
Situasi itu menjadi tantangan bagi Jakarta yang menempatkan isu Palestina di jantung diplomasi Indonesia. Ditemui di sela-sela rangkaian Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, tantangan yang dihadapi untuk memperjuangkan isu Palestina semakin berat.
Dari beragam forum dan pertemuan yang dihadirinya—sedikitnya 10 pertemuan yang secara khusus membahas isu terkait Palestina—ada dua persoalan dasar yang saat ini harus dijawab oleh komunitas global. Pertama, dukungan atas solusi dua negara. Kedua, dukungan pendanaan bagi UNRWA yang mengalami defisit lebih dari 440 juta dollar AS. Hingga saat ini, dari total kebutuhan dana untuk layanan pendidikan dan kesehatan bagi pengungsi Palestina itu, UNRWA masih kekurangan sekitar 185 juta dollar AS (Rp 2,7 triliun).
Indonesia, yang pada Januari 2019 aktif menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, telah memulai bergerak. ”Indonesia telah bertemu dengan beberapa negara yang terpilih menjadi anggota tidak tetap baru, salah satunya Jerman, untuk menggalang dukungan pada solusi dua negara,” kata Retno.
Pendekatan juga dilakukan pada negara-negara lain. Dalam pertemuan MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) di kantor Perwakilan Tetap RI di New York, Retno juga mengangkat isu itu, termasuk meminta dukungan untuk UNRWA. ”Kita akan menggunakan semua forum untuk menggalang dukungan untuk Palestina dan UNRWA,” ujarnya.
Bahkan, pada 15-21 Oktober nanti, Indonesia akan menggelar Pekan Palestina di Jakarta. Selain mengundang Komisaris Jenderal UNRWA Pierre Krahenbuhl dan Menteri Luar Negeri Palestina Riyadh al-Maliki, aneka perhelatan akan digelar, termasuk mempertemukan mereka dengan para filantrop Indonesia.
Langkah itu diambil Indonesia untuk meningkatkan bantuan dana bagi UNRWA sekaligus membangun penyadaran baru tentang isu Palestina. Sebelumnya, dalam sebuah pertemuan yang diinisiasi Jordania—juga dihadiri Indonesia dan Sekjen PBB Antonio Guterres, serta sejumlah negara maju, seperti Norwegia, Jerman, dan Belgia—hadir dua pengungsi anak Palestina. Di depan forum itu, keduanya mengharapkan bantuan komunitas dunia agar sekolah mereka tidak ditutup. ”Apa yang mereka sampaikan sangat menyentuh,” kata Retno.
Fakta itulah yang semakin membulatkan tekad Indonesia dan negara lain yang hadir untuk semakin optimal membantu Palestina. ”Ini bukan sekadar soal pengungsi, melainkan bagaimana kita menghormati hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Dan juga di luar itu, kita bicara soal stabilitas, jika penanganan pengungsi ini dihentikan, yang di sekolah ada di jalan, yang mungkin bisa memicu instabilitas,” kata Retno.
Multilateral
Apa yang dilakukan Indonesia dengan menggalang dukungan dari lebih banyak pihak untuk Palestina sejalan dengan tema Sidang Umum PBB tahun ini, yaitu ”Relevansi PBB untuk Semua Warga: Kepemimpinan Global dan Berbagi Tanggung Jawab untuk Perdamaian, Kesetaraan, dan Masyarakat Berkelanjutan”.
Seorang diplomat Indonesia mengatakan, dari tema itu sangat jelas apa yang diharapkan dari sidang umum. ”Perdamaian dan kesejahteraan dunia tak akan tercipta tanpa kepemimpinan global dan upaya untuk berbagi tanggung jawab,” katanya.
Dunia, kata diplomat itu, harus mulai belajar mandiri dan tidak lagi melulu bergantung kepada negara-negara besar, seperti AS. Ia melihat, mundurnya AS dari beberapa kerja sama multilateral memiliki efek positif, yaitu mendorong komunitas global memperkuat kerja sama multilateral sebagai upaya mengisi tempat yang ditinggalkan AS.
Sikap Indonesia itu secara khusus disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sidang umum, Kamis (27/9/2018). Wapres mengatakan, saat ini kondisi dunia kian memprihatinkan. Selain konflik, perpecahan antarnegara dan pemimpin mereka serta kemiskinan telah menjadi ancaman serius di beberapa wilayah.
”Ada kebutuhan mendesak atas kepemimpinan yang bersatu. Kualitas dunia merosot, mau tidak mau pemimpin dunia harus bersatu, PBB pun harus berperan lebih besar,” kata Wapres.
Ia ingin PBB kembali menjadi sentra dari diskursus global. Ia mendorong agar PBB menjadi lebih responsif dan tepercaya untuk memastikan perdamaian global terwujud.
Secara khusus, Indonesia akan mengoptimalkan perannya sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Sejumlah persiapan teknis telah dilakukan, termasuk menambah kekuatan Perwakilan Tetap RI di PBB. Isu Palestina menjadi salah satu prioritas misi Indonesia di DK PBB.