Sentimen Positif Belum Terbentuk
JAKARTA, KOMPAS--Kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah belum mampu memberikan sentimen positif bagi pasar. Rupiah masih berada di kisaran Rp 14.900-an per dollar AS dalam tiga hari terakhir.
Hal ini mengindikasikan faktor eksternal masih terlalu kuat memengaruhi kondisi pasar keuangan dalam negeri.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat (28/9/2018), nilai tukar pada Rp 14.929 per dollar AS. Adapun di pasar tunai, rupiah diperdagangan pada Rp 14.895-Rp 14.945 per dollar AS.
Nilai tukar rupiah justru melemah dari Kamis (27/9) yang sebesar Rp 14.919 per dollar AS.
Pada Kamis, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen. BI juga akan memberlakukan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) atau transaksi lindung nilai untuk waktu mendatang yang penyelesaiannya secara netting dalam rupiah di pasar valuta asing (valas) domestik.
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengendalikan impor, menerapkan mandatori 20 persen biodiesel, dan meningkatkan ekspor. Langkah BI dan pemerintah itu dalam rangka menurunkan defisit transaksi berjalan yang pada triwulan II-2018 sebesar 3,04 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Kompas, mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI sudah diprediksi pasar, yakni 25 bps. Tidak ada kejutan bagi pasar, sehingga pasar merespons biasa-biasa saja.
Sentimen positif yang tidak muncul itu juga akibat tekanan eksternal yang cukup besar. Tekanan eksternal tidak hanya dari Amerika Serikat, tetapi juga Italia. Tidak ada kesepakatan anggaran antara Parlemen dan Pemerintah Italia, sehingga menimbulkan ketidakpastian di Eropa.
“Faktor lain, harga minyak dunia sekarang berada di 81 dollar AS per per barel. Pada akhir tahun diperkirakan tembus 90 dollar AS-95 dollar AS per barel,” kata Bhima.
Bagi negara seperti Indonesia yang mengandalkan impor minyak mentah untuk memenuhi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, lanjut Bhima, imbas negatif dari kenaikan harga minyak lebih banyak. Defisit perdagangan akan kembali melebar. Permintaan dollar AS untuk suplai minyak akan naik, sehingga tekanan suplai valas akan membesar.
Di sisi lain, tren investor asing masuk ke pasar obligasi Indonesia mulai membaik kendati imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) turun tipis dari 8,37 persen menjadi 8,35 persen.
“Langkah-langkah itu perlu ditopang dengan penguatan pendapatan devisa melalui ekspor jasa. Misalnya, dengan menerapkan pajak penghasilan (PPh) ekspor jasa nol persen. Saat ini baru tiga sektor jasa yang dikenakan PPh nol persen, yaitu jasa maklon, perawatan dan perbaikan, serta konstruksi, sedangkan yang lain masih 10 persen,” kata dia.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual berpendapat, faktor eksternal memang masih sangat kuat memengaruhi sentimen pasar. Kenaikan suku bunga acuan BI diharapkan dapat meredam laju investor asing yang akan keluar dari pasar keuangan Indonesia dan menarik mereka ke pasar obligasi domestik.
Perpaduan kebijakan BI dan pemerintah diharapkan dapat menekan defisit transaksi berjalan menjadi kurang dari 2,5 persen PDB pada akhir tahun ini.
Melemah
Investasi properti diprediksi melemah seiring kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Soelaeman Soemawinata, di Jakarta, mengemukakan, kenaikan suku bunga acuan akan berdampak ke sektor riil, termasuk properti. Kenaikan suku bunga acuan BI akan mendorong kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Hal ini mendorong investor menyimpan dana di bank ketimbang berinvestasi pada properti.
Di sisi lain, pengembang dapat menggarap peluang baru. Sebab, kebutuhan rumah tinggal untuk segmen menengah bawah, yakni dengan harga Rp 200 juta-Rp 600 juta per unit, masih potensial.
Secara terpisah, Direktur PT Bumi Serpong Damai Tbk Hermawan Wijaya, menilai, kenaikan suku bunga acuan merupakan langkah yang perlu ditempuh pemerintah untuk menjaga volatilitas rupiah di tengah depresiasi nilai tukar. Kenaikan suku bunga acuan BI akan berpengaruh terhadap bisnis properti. Namun, pengembang telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi pelemahan pasar.
Kenaikan suku bunga acuan BI juga berdampak bagi pelaku industri kecil menengah (IKM) yang memproduksi komponen otomotif.
Ketua Umum Perkumpulan Industri Kecil Menengah Komponen Otomotif (Pikko) Rosalina Faried mengatakan, IKM produsen komponen otomotif berupaya mengurangi beban biaya produksi, termasuk mencari alternatif penggunaan bahan baku lokal sebagai substitusi impor.
Momentum
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen akan memengaruhi momentum pertumbuhan ekonomi. Penyaluran kredit dan pertumbuhan konsumsi berpotensi melambat akibat pengetatan likuiditas di pasar. Namun, kondisi itu akan diimbangi pemerintah dengan menyiapkan insentif pajak untuk mendorong investasi.
“Seberapa besar pengaruh kenaikan suku bunga BI itu tergantung pemerintah bisa mendorong dari segi yang lain termasuk insentif pajak,” kata Darmin di Jakarta.
Untuk itu, pemerintah sedang mengevaluasi insentif pajak. (HEN/LKT/CAS/KRN)