Temuan Kubur dan Keramik Ungkap Asal-usul Leluhur Natuna
NATUNA, KOMPAS – Penelitian arkeologi di Kepulauan Natuna yang dilakukan delapan tahun terakhir perlahan-lahan mampu mengungkap asal-usul masyarakat Natuna. Selama ini, masyarakat setempat sekadar berpegang pada dongeng dan legenda semata.
Salah satu dongeng atau legenda yang berkembang di masyarakat Natuna adalah kisah asal-usul Natuna yang bermula dari pertemuan Demang Megat dan Putri Kerajaan Johor Fatimah di Sungai Segeram, Natuna. Masyarakat setempat mempercayai, Demang Megat yang jatuh dari rakit Buluh Betung akhirnya terbawa arus dan masuk ke Sungai Segeram sekitar tahun 1610 Masehi.
Di tempat itulah, Demang Megat kemudian bertemu dengan Putri Johor Fatimah yang dibuang dari Negeri Johor ke Pulau Serindit (sekarang bernama Pulau Bunguran) karena lumpuh. Mereka kemudian menikah dan mendirikan pemerintahan otonom di Pulau Serindit yang terpisah dari Kerajaan Johor.
Dongeng atau legenda di atas bergulir secara lisan dari mulut ke mulut selama bertahun-tahun. Akan tetapi, kebenaran dari cerita tersebut sulit dibuktikan secara ilmiah.
Menurut Arkeolog Senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sonny C Wibisono, dongeng atau legenda tentu tidak cukup untuk mengungkap identitas awal masyarakat Natuna.
“Tidak semua dongeng dan legenda dan hikayat bisa dibuktikan. Oleh karena itu, arkeolog berusaha untuk membuktikannya sesuai fakta-fakta yang ada,” ucap Sonny dalam Sosialisasi Arkeologi Perbatasan Natuna sebagai Perlintasan Budaya dan Niaga” di Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (28/09/2018). Sosialisasi yang diikuti ratusan kepala sekolah SMA/sederajat di Natuna ini merupakan bagian dari Proyek Rumah Peradaban yang digelar Puslit Arkenas.
Oleh karena itu, sejumlah pertanyaan mulai dari siapa yang awalnya mengisi kepulauan ini, dari mana asalnya, dan apa peran dari kepulauan ini sejak dahulu kala? menjadi salah satu titik tolak yang penting untuk memulai penelitian arkeologis melalui bukti-bukti material arkeologi, sejarah, maupun tradisi budaya di Natuna. Upaya inilah yang kemudian dilakukan para peneliti Puslit Arkenas sejak 2010 dengan melakukan sejumlah penelitian di sekitar Natuna.
Berawal dari kubur kuno
Hasil ekskavasi atau penggalian arkeologi di sejumlah situs di Natuna, seperti Setapang, Sepempang, Tanjung dan Batu Bayan menunjukkan temuan menarik. Para peneliti menemukan sejumlah kubur kuno, benggong atau keranda kubur dari kayu, gelang perunggu, dan keramik yang diduga merupakan bekal kubur.
Saat kerangka-kerangka manusia itu ditemukan sempat ada keributan di masyarakat karena mereka mengira orang-orang yang meninggal itu beragama Islam sehingga harus dikafani dan dimakamkan kembali. Namun, para arkeolog akhirnya meyakinkan bahwa kerangka-kerangka tersebut bukan orang Islam sebab posisi penguburannya tidak utara-selatan tetapi arah barat daya dan timur laut.
Teknik-teknik penguburan kuno dengan bekal-bekal kubur seperti di Natuna ternyata mirip dengan temuan-temuan di sejumlah situs Nusantara lain, seperti di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan), Semawang (Bali). Khusus di Natuna, beberapa kerangka ditemukan tidak lengkap atau rusak serta keramik-keramik yang menjadi bekal kuburnya hilang karena aksi pemacokan atau perburuan benda-benda antik oleh masyarakat setempat.
“Aksi pemacokan mengakibatkan bukti-bukti arkeologi hilang. Kerangka-kerangka yang awalnya ada bekal kuburnya akhirnya hilang sehingga cerita-cerita di baliknya hilang. Ulah para pemacok (orang yang mencari benda-benda antik dengan cara mencocok-cocokkan besi ke dalam tanah) mengganggu penelitian arkeologi,” terangnya.
Mustafa, warga Natuna membenarkan hal tersebut. Selama bertahun-tahun, banyak warga Natuna yang berburu keramik dan kemudian menjualnya ke Singapura. Pemberian pemahaman arkeologis tentang keberadaan artefak-artefak keramik di Natuna yang erat kaitannya dengan tinggalan leluhur diharapkan menyadarkan kembali masyarakat untuk menghentikan aksi-aksi pemacokan.
Di Situs Sepempang dan Batu Bayan, peneliti menemukan keranda kayu atau benggong yang serupa dengan keranda kayu di beberapa negara lain, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat awal Natuna berkorelasi dan berhubungan dengan daerah-daerah tersebut.
Dari sejumlah kerangka yang ditemukan, Lembaga Eijkman telah mengambil beberapa sampel untuk diteliti pertanggalan perkiraan umurnya. Hasil pasti penanggalan dari Lembaga Eijkman tersebut masih ditunggu sampai sekarang. Perkiraan sementara, kerangka-kerangka tersebut berumur sekitar 5.000 hingga 4.000 tahun lalu, semasa dengan periode migrasi para penutur Austronesia.
Di Situs lain di Segeram, Sedanau, dan Pulau Tiga, para peneliti Puslit Arkenas juga menemukan nisan-nisan kuburan Islam yang berumur lebih muda sekitar abad ke-17. Penemuan tradisi penguburan yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa di Natuna telah muncul kebinekaan dan pluralisme sejak dahulu kala.
Perdagangan Keramik Dunia
Peneliti Puslit Arkenas lainnya, Prof Naniek Harkantiningsih menambahkan, di wilayah penelitian Pulau Bunguran Besar ditemukan begitu banyak artefak keramik dari periode abad ke-10 hingga 20. Keberadaan keramik-keramik (sebagian besar dari China) dari berbagai masa ini menunjukkan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan global di Natuna.
“Pulau-pulau di Laut Natuna Utara sebagai ‘batu loncatan’ dalam perjalanan pelayaran dan niaga, seperti Kepuluan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Natuna menjadi pelabuhan singgah karena hasil alamnya dan letaknya yang strategis. Sejak dahulu, Natuna memiliki kekayaan hasil hutan, ikan, dan batu granit,” paparnya.
Selain memiliki hubungan jarak jauh dengan negara-negara lain, pada zaman dahulu Natuna juga menjalin hubungan jarak dekat dengan pulau-pulau Nusantara. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gerabah berbentuk kendi dari Gosari, Gresik, Jawa Timur era abad ke-13.
Kepala Puslit Arkenas I Made Geria mengatakan, hasil-hasil penelitian arkeologi yang mengungkap fakta sejarah Natuna sebagai daerah perlintasan niaga dunia dengan segala keragaman budayanya mesti menjadi penguat Natuna sebagai salah satu daerah terluar sekaligus kawasan strategis nasional.
“Peran Natuna pada zaman dahulu diharapkan menjadi kebanggaan masyarakat bagi Natuna. Puslit Arkenas menggelar kegiatan riset di seluruh Indonesia di 97 situs di mana 12 situs di antaranya berada di daerah terluar, salah satunya Natuna,” ucapnya.