Donggala, Kota yang Terpuruk
Bertahun-tahun Donggala nyaris tidak pernah menjadi buah bibir. Padahal, di masa lalu, sejak tahun 1430, Donggala menjadi andalan VOC sebagai jalur perdagangan. Kini, Donggala berduka akibat dihantam gempa dan tsunami.
Gempa bermagnitudo 7,4 yang berpusat di Donggala, Jumat sore, telah meluluhlantakkan daerah ini dan sekitarnya. Donggala, kota tua yang beberapa tahun terakhir cukup tenang, seolah disentak dan tiba-tiba riuh menjadi perhatian nasional, bahkan dunia.
Donggala di tepian Selat Makassar adalah kota tua yang dahulu dikenal sebagai kota pelabuhan dan kota dagang. Pelabuhan Pantoloan yang berada di Kota Palu yang kini rusak parah dahulu masuk wilayah Donggala.
Wilayah Donggala membentang mengelilingi Lembah Palu dan berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong di bagian timur. Di bagian utara dan timur laut berbatasan dengan Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Sigi di bagian selatan. Wilayah ini juga berbatasan dengan Sulawesi Barat di bagian barat dan barat daya.
Begitu luasnya wilayah Donggala di masa lalu membuat daerah ini melahirkan Kota Palu yang kini menjadi ibu kota Sulawesi Tengah dan dua kabupaten, yakni Sigi dan Parigi Moutong. Itulah mengapa Palu juga menjadi daerah yang luluh lantak akibat gempa.
Berpenduduk lebih dari 300.000 jiwa, Donggala adalah kabupaten yang terbilang tenang. Sebagian penduduk bertani, berkebun, sebagian bekerja sebagai nelayan, sebagian lainnya berdagang dan beternak lembu. Salah satu makanan khas yang terkenal di Palu, yakni kaledo, sesungguhnya berasal dari Donggala. Kaledo, makanan berkuah gurih, bagi masyarakat Sulteng akrab disebut sebagai akronim dari kaki lembu donggala.
Sejak lima tahun lalu, wisata di wilayah ini tumbuh. Keindahan pantai, pemandangan bawah laut, pasir putih, dan beberapa pulau membuat Donggala menjadi salah satu magnet pariwisata Sulteng. Salah satu yang terkenal adalah kawasan Tanjung Karang. Di kawasan pantai berpasir putih inilah warga Kota Palu, Donggala, dan beberapa kabupaten lain kerap menghabiskan akhir pekan dan masa liburan.
Tak hanya wisatawan lokal, wisatawan asing dari sejumlah negara juga banyak berkunjung ke tempat ini. Sebagian bahkan sering menghabiskan waktu hingga berminggu-minggu, bahkan hitungan bulan, untuk menjelajah Donggala dan sekitarnya.
Jalur perdagangan
Menyebut Donggala tidak bisa lepas dari Kerajaan Banawa, salah satu kerajaan besar di masa lampau. Dalam sejumlah catatan sejarah, Donggala sudah terkenal sebagai kota pelabuhan sejak 1430. Catatan ini di antaranya ditemukan dalam sumber-sumber China sebelum abad ke-15 yang ditulis oleh JV Mills dan disunting Marcell Bonet dalam buku Chinese Navigation (1965).
Dalam catatan disebut Pelabuhan Donggala di masa lampau ramai dengan aktivitas perdagangan, seperti kemiri, kopra, damar, dan ternak sapi. Booming komoditas kopra terjadi pada 1920-1939. Hingga kini jejak kopra masih ada karena juga menjadi mata pencarian sebagian warga yang berada di wilayah pantai barat. Di wilayah ini pula terdapat ribuan pohon kelapa yang berjejer indah di kiri-kanan jalan. Sebagian adalah tanaman tua. Jejeran pohon kelapa ini menjadi tempat yang sering disinggahi wisatawan.
Kekayaan alam Donggala dan letaknya yang strategis membuat VOC sempat menjadikan wilayah ini sebagai jalur perdagangan penting yang menghubungkan Makassar dan Manado. Tahun 1667, VOC melalui Traktat Banawa, Belanda mengikat Donggala dalam perjanjian penyerahan emas. Oleh Belanda, Donggala dijadikan titik tengah di Selat Makassar untuk mengamankan jalur perdagangan laut di wilayah tersebut yang menghubungkan Makassar dan Manado. Selanjutnya pada 1888, melalui Plakat Panjang, Belanda menetapkan Donggala sebagai jalur eksklusif perusahaan kapal dagangnya, yakni KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Jalur penting itu diberi nama Jalur 14.
Tak hanya VOC, Kerajaan Banawa juga sempat jadi rebutan tiga kerajaan, yakni Gowa, Ternate, dan Bone. Sesungguhnya di masa lalu bukan hanya kerajaan Banawa yang ada di Donggala, melainkan sejumlah kerajaan yang berdiri sendiri. Kerajaan ini adalah Kerajaan Palu, Kerajaan Sigi Dolo, Kerajaan Kulawi, Kerajaan Biromaru, Kerajaan Banawa, Kerajaan Tawaili, dan Kerajaan Moutong. Ini pula yang menjadi dasar pembentukan afdeling Donggala yang wilayahnya sesuai dengan kerajaan-kerajaan tersebut.
Saat ini Donggala tetap punya peran penting sebagai wilayah penghubung Makassar-Manado melalui pantai barat Sulteng. Tak hanya jalur mobilisasi warga, Donggala juga masih jadi jalur perdagangan dan pergerakan barang. Ini juga yang menjadikan Donggala akhirnya menjadi tempat tujuan perantau asal Sulsel, Sulbar, hingga transmigran asal Jawa dan Bali.
Sejarah sebagai daerah pelabuhan dan perdagangan membuat warga Donggala cukup terbuka menerima pendatang. Nyaris tak terdengar konflik antara warga lokal dan pendatang kecuali konflik antarkampung. Keterbukaan itu melahirkan banyak perkawinan antarsuku. Darwin asal Enrekang, misalnya, menikahi warga Donggala. ”Istri saya orang Donggala, semua keluarga istri tinggal di sana. Kami prihatin, mencari kabar (gempa) ini,” katanya.