Makan di pinggir jalan adalah salah satu kebiasaan yang banyak dilakukan warga ibukota. Harga murah dengan rasa yang enak membuat makanan pinggir jalan tak hanya menarik minat warga yang berkantong pas-pasan, melainkan mereka yang juga berkantong tebal.
Hampir 85 responden jajak pendapat Kompas akhir September lalu pernah mencicipi makanan di warung kaki lima. Bahkan sekitar 42 persen dari yang pernah mencicipinya, cukup sering menikmati makanan kaki lima dengan intensitas setiap hari sampai seminggu sekali.
Ada beragam alasan menyukai makanan kaki lima. Harga yang relatif murah umumnya menjadi alasan utama, seperti yang diungkapkan oleh 26 persen responden. Dibandingkan kafe dan restoran, harga kuliner kaki lima jauh lebih murah sehingga bisa menjangkau banyak kalangan. Sebagai contoh, untuk satu kali makan siang di kawasan Palmerah harga nasi, sayur dan lauk hanya berkisar belasan ribu hingga Rp 20 ribu rupiah. Di warung makan non kaki lima, harga 20 ribu rupiah baru merupakan harga termurah untuk satu porsi.
Membeli makanan kaki lima dinilai oleh 23 persen responden lebih praktis. Alasan ini tidak hanya disampaikan oleh responden pekerja kantoran tapi juga ibu rumah tangga. Bagi karyawan, makanan kaki lima cukup praktis dan mudah didapat di sekitar kantor saat makan siang. Bagi ibu rumah tangga, makanan kaki lima yang bervariasi bisa untuk kebutuhan makanan sehari-hari. Pun dari segi rasa menurut 15 persen responden tidak kalah enak dibandingkan makanan restoran.
Digemari Semua Kalangan
Tak hanya itu, makanan kaki lima juga mudah dijumpai seperti dinyatakan sebagian responden. Pada setiap pinggir jalan di seantero Jakarta makanan kaki lima mudah dijumpai, mulai dari penjual bubur ayam, pecel ayam/lele, soto, ketoprak hingga sate. Makanan khas berbagai daerah juga terkadang dijual di kaki lima, seperti nasi urap, gudeg, hingga sate padang. Bisa dibilang, Jakarta memiliki ragam kuliner paling ciamik dan menjadi surganya penikmat kuliner kaki lima.
Dari berbagai makanan yang dijajakan, sepertiga warga mengaku paling sering mengonsumsi makanan berat, yaitu nasi goreng, pecel ayam/bebek/lele. Sementara, sepertiga responden lainnya mengaku lebih sering menikmati makanan ringan di pinggir jalan seperti bakso, ketoprak/gado-gado dan siomay.
Sebanyak 16 persen responden mengaku menikmati makanan kaki lima bersama teman sekantor. Fenomena ini menjelaskan banyaknya pedagang kaki lima di seputar area gedung-gedung perkantoran Jakarta. Namun demikian, kuliner kaki lima tidak hanya menjadi makanan monopoli para pekerja. Sebanyak 15 persen responden lainnya mengaku menikmati makanan pinggir jalan bersama sahabat atau teman di luar tempat mereka bekerja. Menikmati makanan kaki lima bersama keluarga pun juga menjadi kebiasaaan sebagian publik Ibukota. Lebih kurang separuh dari warga lainnya menyatakan hal itu. Mengingat kesibukan di kota besar, makan di kaki lima acapkali bisa dijadikan alternatif menikmati kebersamaan bersama keluarga.
Menikmati makanan di tepi jalan dalam jumlah terbatas mungkin ideal untuk dinikmati langsung di tempat. Namun, makan di tepi jalan bersama banyak orang tentu akan berbeda. Separuh responden lebih menyukai menikmati makanan kaki lima di tempat. Namun tidak sedikit orang yang enggan makan di warung tenda seperti diakui oleh 44 persen responden. Mereka lebih memilih membungkus makanan dan menikmatinya di tempat lain.
Alasan lebih memilih membungkus makanan kaki lima tentu bisa sangat beragam. Ada sejumlah pertimbangan mulai dari keterbatasan tempat duduk, keterbatasan parkir kendaraan atau kebersihan tempat makan menjadi beberapa hal yang menjadi pertimbangan warga.
Terlepas dari pilihan cara menikmatinya, makanan kelas pinggir jalan selalu dicari banyak orang. Makanan kaki lima digemari dari berbagai kalangan mulai dari warga berdaya beli rendah hingga kalangan berpengeluaran besar. Hasil jajak pendapat ini menunjukkan, kecenderungan makan di kaki lima justru semakin sering dilakukan warga Ibukota seiring tingginya daya beli mereka. Warga dengan pengeluaran lebih dari Rp 4 juta per bulan (51,2 persen) lebih sering makan di warung kaki lima dibandingkan dengan responden dengan pengeluaran kurang dari Rp 4 juta per bulan (39 persen).