Kami Takut Lapar
Di bawah temaram pendar lampu, sambil memegang gedek, dua pemuda yang cuma bercelana pendek itu menuding dan berteriak secara berbarengan. ”Yang kami takutkan bukan mati, tapi lapar,” kata yang berambut ikal. ”Yang aku takutkan bukan mati, tapi lapar,” kata yang bercaping.
Berkali-kali kalimat itu dilantangkan seakan mantra yang hendak menusuk dan mencuci otak penonton pertunjukan SAPAmengkang oleh UjiCoba Teater Sampang, Jumat (28/9/2018) malam, di aula Wihara Avalokitesvara, Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Di awal, kedua pelakon itu bersimpuh saling berhadapan di atas gedek bergetas dan berdebu. Lempung dan bubuk tanah itu mereka balurkan pada tubuh. Setelah itu, keduanya berkidung meski nadanya terdengar lirih dan menyayat. Seusai tembang, mereka mengambil alu dan menumbuk gedek itu dengan aksen sehingga tercipta lagu.
Saat tubrukan masih berdendang, sutradara Syamsul Arifin datang ke panggung dan berbicara tentang narasi pementasan. Rakyat ”Pulau Garam”, julukan Madura, berkeyakinan teguh bahwa tanah harus dipertahankan. Salah satunya tana sangkol atau tanah warisan yang mempertautkan kehidupan generasi sekarang dengan leluhur dan penerus.
Seperti apa tanggung jawab masyarakat Madura atas lahan yang dipercayakan, diwariskan, diberikan, didapat dari leluhur? Apakah dijaga, dirawat, dikembangkan atau dibagi, diwakafkan, dijual, diobral, ditelantarkan? Apa negosiasi, strategi, dan tradisi yang akan ditempuh? Bagaimana masa depan Madura terutama manusianya?
Mungkin saat ini atau mendatang, Madura seperti kedua pelakon itu di panggung. Ada yang sendiri menampi beras sampai jatuh dan terkulai tak sadarkan diri. Bisa juga yang satu memegang bilik, sedangkan lainnya terus menggedor. Atau keduanya memegang alu sambil berusaha menaikkan caping di ujung lesung, tetapi kemudian berebut menjatuhkannya atau menegakkannya. Saat tudung itu jatuh dan hanya satu pemegang lesung, yang lain tertunduk. Kalah.
Barangkali juga tergambar dalam adegan saat mereka berebut menguasai gedek sampai salah satu tersungkur. Yang menang bolak-balik menarik bilik seolah menunjukkan keberhakan untuk membudidayakan tanah. Yang jatuh terbangun dan sadar telah kehilangan yang berharga dan mencoba merebut kembali, tetapi terus terjungkal dan tak berdaya di hadapan kuasa.
”Sangkal”
SAPAmengkang merupakan pementasan kedua pada hari pertama Remo Teater Madura di lingkungan wihara di Dusun Candi, Desa Pogalan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, itu. Remo ini bukan nama tari khas Jawa Timur, melainkan tradisi arisan dan atau pertemuan antarwarga antarseniman untuk interaksi sosial budaya. Rangkaian acara berlangsung sampai dengan Minggu (30/9) lewat tengah malam.
Drama berjudul Sangkal oleh Lorong Art Pamekasan menjadi pementasan pertama Remo Teater Madura yang merupakan festival seni pertunjukan dan forum pertemuan antarseniman Madura. Sangkal mungkin hendak menceritakan kutukan akibat pelanggaran tradisi sehingga seorang perempuan terutama selalu gagal mendapat lelaki untuk dinikahi.
Gadis itu berdiri dan berteriak di mimbar tinggi. Di bawahnya empat lelaki bertelanjang dada komat-kamit dan seolah berebut ingin menggapai sang perempuan. Kemudian, rombongan datang dan menaruh hantaran lamaran. Si dara turun dan digandeng oleh seorang lelaki mendekati hantaran. Ia mengamati, mengambil sebagian persembahan itu, tetapi kemudian membuang semuanya dari meja. ”Aku tidak sudi,” katanya berteriak lantang lalu kembali ke balkon.
Seusai pementasan, sutradara Eros Van Yasa menerangkan bahwa di Madura masih kuat adanya keyakinan terhadap pelanggaran tradisi. Sangkal akan membuat perempuan menjadi jomblo abadi alias sampai mati, misalnya, karena menolak lamaran pertama. Menampik permohonan, misalnya, beberapa saat kemudian membuatnya dilangkahi sang adik yang menikah terlebih dahulu.
Secara umum Remo Teater Madura hendak menarasikan tanah yang merupakan ikatan primordial rakyat dan sebagai sumber daya untuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Untuk itu, festival alternatif ini mengambil tema ”Berpijak pada Tanah”. Hajatan seni ini diwujudkan dalam lokakarya, pameran seni rupa, pertunjukan, dan forum kreator.
Pada hari Jumat ada lokakarya manajemen komunitas, klenengan Panti Budaya Komunitas Seni Wihara Avalokitesvara, pembukaan pameran seni rupa (foto, lukis, instalasi), pertunjukan teater, dan forum kreator. Pada Sabtu kembali diadakan lokakarya dan pementasan Wirasa oleh Sanggar Genta Pamekasan, Masdurius oleh Suvi Wahyudianto (Yogyakarta), dan Alake Lajaran oleh Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan.
Pada Minggu diadakan diskusi ”Berpihak pada Tanah” bersama Dardiri Zubairi dan M Faizi dari Sumenep, lalu kembali diadakan pementasan Tabak oleh M Wail Irsyad Bandung, Tera’ Ta’ Adhamar oleh Kikana Arts Production Sampang, dan White Stone oleh Sawung Dance Studio Surabaya, lalu ditutup dengan pergelaran wayang kulit Wahyu Katentreman oleh Ki Gilang Pandu Permana, dalang remaja asal Ngawi.
Tanah menjadi tema besar dan napas kegiatan festival. Manusia Madura menganggap penting tanah dalam kehidupan. Mereka punya narasi berbeda tentang tanah. Ada tana sangkol atau mekanisme warisan, toron tana (pijak tanah) untuk bayi tujuh bulan guna menandai secara simbolis dimulainya perjalanan hidup di dunia, juga rokat tana atau rokat bume (ruwat tanah atau ruwat bumi) di awal musim sebagai permohonan keselamatan dan keberkahan kepada bumi sehingga tanaman dan ternak tidak diserang hama, penyakit, dan hasil panen memuaskan.
Dalam konteks primordial itu, rakyat Madura diingatkan kembali tentang cara mereka memaknai tanah. Mereka diminta untuk menyeimbangkan jagad kene (jagat kecil) yang tampak dan jagad raja (jagat besar) yang astral demi keharmonisan kehidupan. Apa lagi yang dicari manusia selain hidup aman, damai, sejahtera, bahagia, tenteram jiwa raga?
Di sisi lain, tantangan baru dalam pertanahan muncul terutama setelah Madura dan Jawa disambung dengan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). Struktur dengan bentang 5 kilometer di atas Selat Madura itu turut menghantar arus ekonomi, industri, akulturasi budaya, hingga paradigma baru penguasaan lahan, alih fungsi tanah, kapitalisasi, dan privatisasi. Tanah juga menjadi mandala perebutan atau konflik kepentingan dan kekuasaan.