Gempa bermagnitudo 7,4 yang disusul tsunami di Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan gempa-gempa susulannya hingga Sabtu (29/9/2018), menancapkan trauma dan kekhawatiran warga. Di wilayah Sulawesi Barat, provinsi tetangga yang paling dekat jaraknya dengan pusat gempa, kondisi itu juga kuat terasa.
Gelap malam menutupi hamparan kebun sawit yang dibelah Jalan Trans-Sulawesi Mamuju-Palu di Kecamatan Tikke Raya, Kabupaten Mamuju Utara, Sabtu kemarin. Dari jauh, di kanan jalan, titik-titik terang pelita menandakan denyut kehidupan.
Makin dekat, aktivitas itu kian jelas. Lebih dari seratus warga berkumpul di bawah tenda terpal biru beralas terpal pula, tikar, atau plastik. Ada yang sedang rebahan, saling berbincang, maupun yang makan dengan lauk seadanya.
“Kami mengungsi, khawatir gempa susulan. Hampir setiap jam terasa getarannya,” kata Edi Purnomo (29), pekerja perkebunan sawit yang mengungsi bersama istri dan tiga anaknya.
Guncangannya keras sekali, sampai-sampai tiang listrik berayun dan pintu warung menutup sendiri.
Selain pekerja sawit, lokasi pengungsian swadaya itu juga ditempati warga setempat. Mereka cemas jika bertahan di rumah, terlebih saat malam hari.
Apalagi, lokasi rumah mereka tak jauh dari laut. Tsunami sungguh menakutkan mereka. Lokasi pengungsian yang berada di lahan tinggi menenangkan mereka. “Kemarin setelah gempa besar air laut sempat naik tinggi tidak seperti biasanya. Dengan tinggal di lokasi ini kami merasa lebih aman,” ujar Edi.
Karena itu, meski dengan kondisi serba terbatas di pengungsian, warga memilih bertahan. Dinginnya malam dihalau api unggun ditambah sarung atau selimut tipis pembungkus tubuh. Belum ada bantuan yang datang.
Di pagi sampai siang, warga tetap bekerja di kebun sawit. Mereka kembali ke rumah hanya untuk memasak. “Sore kami kembali ke pengungsian,” ujarnya.
Kondisi hampir serupa ditemui Kompas saat menyisir Jalan Trans-Sulawesi Mamuju-Palu, khususnya sejak memasuki Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah. Suryani (40), penjaga warung makan mengatakan, hingga Sabtu sore masih banyak warga Topoyo bertahan di ketinggian.
“Kemarin banyak beredar kabar tsunami sehingga warga memilih mengungsi ke bukit-bukit di daerah Tobadak,” katanya. Ia bersama keluarga memilih mengungsi ke lapangan di pusat kecamatan Topoyo.
“Kami tidur di lapangan karena khawatir gempa susulan. Baru tadi pagi berani kembali ke rumah,” katanya.
Gempa kemarin terasa sangat kuat. Saat itu, Suryani sedang berada di depan warung. “Guncangannya keras sekali, sampai-sampai tiang listrik berayun dan pintu warung menutup sendiri,” ujarnya.
Tenda-tenda pengungsian seperti yang ditemui di Tikke Raya mulai terlihat sejak memasuki wilayah perbukitan Kecamatan Karossa, Mamuju Tengah, yang juga banyak terhampar perkebunan sawit.
Di daerah itu, banyak pula warga dari Mamuju Utara yang mengungsi ke rumah keluarga dan kerabat. Salah satunya Dimah (43), warga Mamuju Utara yang mengungsi ke rumah kerabatnya di Desa Benggaulu, Karossa.
“Rumah saya hancur. Barang-barang di dapur semua hancur. Saya terpaksa mengungsi ke rumah ipar. Saya juga khawatir gempa susulan. Saya sembilan orang bersama suami, mertua, dan anak-anak,” katanya.
Hal sama dilakukan Hasanah (47). Walau rumahnya tak rusak, trauma saat gempa besar dan beberapa kali gempa susulan yang dirasakan cukup kuat membuatnya mengungsi bersama delapan anggota keluarga lain. Jarak Mamuju Tengah jauh dari pusat gempa. Wilayahnya agak tinggi.
Selama perjalanan Mamuju Tengah-Mamuju Utara, banyak pula terlihat lalu-lalang motor dan mobil bak terbuka yang mengangkut warga dengan bekal tas-tas besar dan bungkusan ke arah Mamuju melintasi jalan Trans-Sulawesi. Itu seperti bagian dari sebuah eksodus.