Lampu lalu lintas di salah satu perempatan antar Otto-Braun Strasse – Alexander Strasse, di kawasan Alexanderplatz, Berlin, Jerman, suatu pagi pertengahan September lalu, menyala merah. Segerembolan pengendara sepeda langsung merangsek ke garis depan zebra cross. Berbagai ragam model dan ragam sepeda, umumnya sepeda sehari-hari, fixed gears atau ontel dipergunakan warga Jerman. Sesekali terlihat ada yang menggunakan sepeda gunung. Pengendaranya pun --pria-wanita-- menggunakan busana sehari-hari, termasuk mereka yang berbaju kerja rapi. Umumnya para pengguna sepeda itu pun tidak menggunakan helm pelindung kepala. Sepeda telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, nyaman dan aman.
Para pengemudi kendaraan bermotor pun terlihat memperhatikan dan mendahulukan keamanan para pengendara sepeda di kota. Penyebrangan jalan di kota ini menggunakan Pelican Crossing. “Pedestarian light controlled crossing” memberikan pejalan kaki untuk mengontrol kapan dia akan menyeberang jalan dengan menyetop arus lalu lintas. Sebuah gambaran di negara maju di mana pejalan kaki mendapat hirarki paling tinggi di antara pengguna jalan raya.
Berlin adalah tempat di mana kendaraan beroda empat dan sepeda hidup berdampingan. Jika di Jakarta atau Ibu Kota lainnya, para penggiat sepeda terus menuntut kotanya menyediakan lajur sepeda (dan belum terwujud), di ibu kota Jerman lajur sepeda terasa menghampar di setiap bidang kota. Lajur sepeda bukan saja tersedia secara khusus berdampingan dengan fasilitas pedestarian, tetapi juga tertera jelas di jalan raya. Dia bukan hanya berada di lajur pinggir jalan, tetapi juga seringkali lajur sepeda berada sebidang di tengah jalan bersama lajur kendaraan roda empat.
Konon kekhawatiran bersepeda di Berlin bukanlah karena ancaman pengguna kendaraan bermotor akan tetapi antara pengguna sepeda itu sendiri. Gaya bersepeda di Berlin ini ternyata agak sedikit berbeda dengan di kota lain yang pernah saya lihat. Para penggowes mengayuh sepedanya dengan cepat. Saat lampu lalu lintas menyala merah, dari jalan arah berseberangan (yang hijau) mereka akan langsung merapat di bagian depan menunggu lampu merah menyala. Saat melaju di lajur sepeda yang bersebelahan dengan fasilitas pejalan kaki, para pesepeda pun tetap gas poll. Pejalan kaki harus menggunakan lajur yang disediakan, jangan coba berjalan di lajur sepeda. Wuzzz! Para pesepeda bisa tiba-tiba lewat di samping tanpa bel atau “klakson” meminta jalan.
Menarik jika melihat penggunaan sepeda oleh warga Berlin. Kota di mana angkutan umum sudah sangat memanjakan warganya. Ibaratnya, tinggal sedikit jalan kaki beberapa langkah ke shelter bus atau stasiun dan naik angkutan umum, kita tinggal merem saja sudah tiba di lokasi tujuan. Jejaring bus, trem, S-Bhan, U-Bhan mudah dijangkau dan tersedia untuk mengantar warga ke mana saja. Tiket yang murah dan mudah didapat dengan berbagai pilihan paket harga membuat naik angkutan umum “serasa gratisan”.
Namun demikian hamparan kota Berlin yang rata membuat sepeda menjadi populer sebagai angkutan sehari-hari. Menurut data, setiap 10 orang warga Berlin terdapat 7 buah sepeda yang digunakan. Setiap hari diperkirakan sekitar 500 buah sepeda berseliweran di kota berpenduduk 3,5 jutaan orang itu. Sepeda ibaratnya berserakan di mana-mana, di tempat parkir pertokoan, permukiman, apartemen, kantor hingga hotel-hotel.
Tersedia juga sepeda-sepeda sewaan (bike sharing) yang bisa digunakan warga atau wisatawan yang ingin menikmati kota Berlin dengan leluasa. Pilihan parkir sepeda bisa di mana saja dengan mudah juga menjadi daya tarik warga untuk menggunakan sepeda bertenaga gowesan itu. Ruas-ruas jalan yang luas, dengan fasilitas lajur sepeda dan pengemudi kendaraan yang peduli terhadap pesepeda menjadi faktor lainnya.
Warga Jakarta pengguna angkutan umum dan penggiat bersepeda tentu akan “iri” mengamati pergerakan masyarakat sebuah kota maju. Angkutan umum murah, bersepeda murah. Setidaknya, untuk itu kita jangan berhenti bermimpi !