Oase Kecil di Tengah Keriuhan Sidang PBB
Di lantai satu Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, terdapat satu ruangan yang seolah ”terisolasi” dari keriuhan sidang dan lobi- lobi tingkat tinggi antarnegara. Ruang ini sengaja dihadirkan dan didedikasikan untuk menjadi sarana guna menimba semangat perdamaian.
Siang itu, Kamis (27/9/2018), lantai satu Markas Besar PBB riuh. Ratusan orang hilir mudik di selasar besar yang menghubungkan pintu utama sisi timur dengan aula utama lantai satu.
Suasana di selasar besar makin ramai. Sejumlah delegasi dari beberapa negara anggota PBB tengah menunggu di samping bilik-bilik diplomasi. Mereka menanti giliran menggunakan bilik itu untuk menggelar pertemuan bilateral dengan negara mitra.
Kumpulan banyak orang itu— meski mereka berbicara dengan nada pelan—membuat selasar dan lobi timur menjadi ramai. Lalu lalang orang yang berjalan bergegas, suara sepatu yang beradu lantai, ditambah dengan tekanan jelang pertemuan bilateral membuat suasana semakin gerah dan serba sibuk.
Saat menuju lantai 1B, di mana ada kantin yang biasa digunakan untuk melepas lelah dan dahaga, suasananya tidak berbeda, bahkan jauh lebih riuh. Semua kursi terisi oleh para diplomat yang menggunakan waktu rehat dan kantin itu untuk melanjutkan negosiasi atau memantapkan strategi diplomasi. Serba sibuk.
Di ruang dan lantai lain pun demikian. Mereka yang tengah menunggu masa sidang asyik mengusap layar telepon pintar mereka, menulis pesan atau membaca pesan yang masuk. Sebagian lagi membaca media daring. Meskipun tidak banyak bersuara, mereka pun tenggelam dalam kesibukan itu.
Ruang hening
Namun, ada satu ruangan di gedung itu yang seolah ”terisolasi” dari keriuhan tersebut. Letak ruang itu ada di sisi kanan lobi timur. Posisinya agak tersembunyi, tepat di sisi Jendela Chagall yang disusun dari lukisan kaca patri berwarna biru.
Ruang itu bernama Ruang Keheningan. Kehadiran ruang meditasi itu merupakan inisiatif sekretaris jenderal PBB yang kedua, Dag Hammarskjold. Dia pula yang mengawasi pembangunan dan detail di dalam ruangan berukuran lebih kurang 35 meter persegi itu.
Ruang yang dibangun pada 1957 itu berpintu kaca gelap. Sesaat setelah pintu ditutup, ruang tersebut terasa ”terpisah” dari seluruh gedung PBB. Ruang itu begitu hening, cahaya temaram membuat suasana makin teduh.
Meskipun seolah ”terpisah”, prasasti yang ada di bagian dalam, tepat di depan pintu masuk, justru menunjukkan bahwa ruang itu adalah salah satu dari jiwa PBB. Ruang itu sengaja dihadirkan untuk didedikasikan menjadi sarana guna menimba semangat perdamaian.
Tentang ruang itu, Hammarskjold—yang memimpin PBB sejak 1953 hingga September 1961 dan gugur saat pesawat yang ditumpanginya jatuh dalam misi di Afrika—menulis, kita semua memiliki dalam diri kita pusat keheningan.
Ada sejumlah petikan menarik dari tulisannya yang kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti di luar ruang itu. Ia, antara lain, menulis, orang-orang dari banyak agama akan bertemu di sini dan untuk alasan itu tidak ada simbol yang biasa digunakan dalam meditasi kita.
Namun, ada hal-hal sederhana yang berbicara kepada kita semua dengan bahasa yang sama. Kami telah mencari hal-hal seperti itu dan kami percaya bahwa kami telah menemukan mereka dalam poros cahaya yang menyambar permukaan batu padat yang berkilauan.
Untaian tulisan itu merujuk pada sebuah altar di tengah ruangan yang disinari cahaya dari langit-langit ruang. Hammarskjold menggunakan itu sebagai simbol cahaya yang memberikan kehidupan pada bumi, juga tentang roh yang memberikan semangat pada kehidupan.
”Kita dapat melihatnya sebagai sebuah altar, kosong bukan karena tidak ada Tuhan, bukan karena itu adalah altar bagi dewa yang tidak dikenal, melainkan karena itu didedikasikan untuk Tuhan yang memimpin manusia dengan banyak nama dan dalam berbagai bentuk.”
Batu di tengah ruangan mengingatkan kita juga tentang keteguhan dan ketetapan hati di dunia yang bergerak dan berubah. Batuan bijih besi memiliki berat dan soliditas yang kekal. Ini adalah pengingat dari landasan daya tahan dan iman di mana semua usaha manusia harus didasarkan.
”Materi batu menuntun pikiran kita untuk memilih antara kehancuran dan konstruksi, antara perang dan perdamaian. Manusia telah menempa besi menjadi pedang, dari besi dia juga membuat mata bajak. Dari besi ia telah membangun tank, tetapi dari besi ia juga membangun rumah bagi manusia. Blok bijih besi adalah bagian dari kekayaan yang kita warisi di bumi kita ini. Bagaimana cara kita menggunakannya?” tulis Hammarskjold.
Dan, setelah melewati lorong waktu, refleksi tokoh asal Swedia itu tetap aktual hingga saat ini. Kamis siang itu, di tengah-tengah perhelatan Sidang Ke-37 Majelis Umum PBB, ruang-ruang dan selasar di Markas Besar PBB, New York, merefleksikan betapa sibuk dan riuhnya dunia.
Dunia yang bergerak dan berubah, di mana manusia saling terhubung dengan intensif, melewati batas negara, suku, dan budaya. Mereka saling membicarakan aneka persoalan, mulai dari isu ekonomi hingga pengungsi. Mereka mendiskusikan perang dan keamanan, konflik dan perdamaian. Mereka menegosiasikan berbagai perbedaan, mencari titik temu hingga akhirnya disetujui untuk disepakati bersama.
Dan, di dalam ruang itu, di mana sejumlah diplomat dari beragam negara menyempatkan diri berdoa, bermeditasi, atau tenggelam dalam hening, semangat untuk melahirkan perdamaian tumbuh kembali.
Ruang itu kembali memberikan kekuatan, terutama bagi mereka yang memberikan hidupnya bagi perdamaian. Dan, sebagaimana tertulis dalam prasasti di dinding dalam ruang itu, ”Ini adalah ruang keheningan, di mana budi berbicara”.