KABANJAHE, KOMPAS — Ratusan keluarga pengungsi letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terpaksa tinggal di ladang di zona merah karena rumah relokasi tidak kunjung selesai. Rumah relokasi mereka terbengkalai karena belum ada akses jalan, toilet, air bersih, dan listrik.
Narmanson Batunanggor (44), pengungsi Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Sabtu (29/9/2018), mengatakan, ada sekitar 100 keluarga pengungsi dari desa mereka yang kini tinggal di gubuk di ladang. ”Kami terpaksa tinggal dan berladang di zona merah. Rumah relokasi kami hingga kini belum selesai dibangun,” katanya.
Sebagian besar warga Desa Berastepu direlokasi ke Desa Nang Belawan. Ada 343 rumah dibangun di kompleks relokasi itu. Bangunan rumah selesai sejak awal tahun 2018, tetapi tidak ada kamar mandi dan tembok rumah belum diplester.
Kalau bangunan rumah sudah hampir selesai semua. Fasilitas umum dan sosial baru akan dikerjakan Oktober ini.
Fasilitas umum, seperti listrik, air bersih, dan akses jalan umum ke permukiman, juga belum ada. ”Kawasan relokasi itu kini terbengkalai. Rumput tumbuh 1 meter,” kata Narmanson.
Relokasi warga Desa Berastepu merupakan bagian dari relokasi pengungsi tahap kedua. Ada total 1.682 keluarga pengungsi dari Desa Berastepu, Gurukinayan, Gamber, dan Kutatonggal yang ikut relokasi tahap kedua. Pada tahap kedua setiap keluarga diberi bantuan membeli rumah dan tapak Rp 59,4 juta dan bantuan membeli lahan pertanian Rp 50,6 juta.
”Seharusnya relokasi tahap kedua selesai tahun 2016, tetapi hingga saat ini tidak kunjung selesai,” kata Narmanson.
Relokasi tahap pertama selesai dilakukan pada 370 keluarga dari Desa Sukameriah, Simacem, dan Bekarah. Mereka direlokasi ke hunian tetap di Siosar tahun 2015.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo Martin Sitepu mengatakan, pembangunan 343 rumah untuk pengungsi Desa Berastepu terkendala, khususnya pembangunan fasilitas umum dan sosial. ”Kalau bangunan rumah sudah hampir selesai semua. Fasilitas umum dan sosial baru akan dikerjakan Oktober ini,” katanya.
Martin mengatakan, pembangunan fasilitas umum dan sosial untuk pengungsi Desa Berastepu molor karena pembangunan rumah mundur. Pembangunan fasilitas umum dan sosial itu dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Karo. Namun, baru bisa ditampung tahun anggaran 2018.
Saat ini, mereka juga tengah menyiapkan pengerjaan relokasi tahap ketiga. Menurut rencana, pemerintah akan membangun 1.038 rumah di Siosar di dekat relokasi tahap pertama. Namun, hingga saat ini baru tahap pembersihan lahan.
Ancaman lahar hujan
Pengamat Pos Pengamatan Gunung Api Sinabung, M Nurul Asrori, mengatakan, memasuki musim hujan, ancaman terbesar dari Gunung Sinabung adalah lahar hujan. Saat ini, sekitar 50 juta meter kubik material vulkanis berupa batu dan abu menumpuk di lereng Gunung Sinabung. Material itu bisa meluncur sebagai lahar saat hujan deras mengguyur.
Asrori mengatakan, dalam beberapa hari ini, lahar hujan mengalir ke sungai-sungai yang berhulu di Gunung Sinabung. Aliran lahar hujan berupa batuan, lumpur, dan batang kayu memenuhi aliran sungai hingga meluap ke jalan, jembatan, dan ladang. Namun, dampaknya tidak luas.
”Untuk menghindari bahaya lahar hujan, kami mengimbau masyarakat agar menghindari sungai-sungai yang berhulu di Gunung Sinabung, terutama saat hujan deras melanda,” katanya.
Aktivitas vulkanis Gunung Sinabung dalam beberapa bulan ini menurun, yang ditandai berkurangnya erupsi dan menurunnya aktivitas kegempaan. Namun, status Sinabung masih tetap Awas.
Terakhir, erupsi terjadi pada 22 Juni lalu dengan tinggi kolom abu 1.000 meter. Beberapa bulan sebelumnya, Sinabung erupsi hampir setiap hari dengan tinggi kolom abu hingga 5.000 meter.
Saat ini juga tidak terpantau lagi adanya gempa hibrida, gempa guguran, dan frekuensi rendah yang menandakan berkurangnya suplai energi dan fluida dari dapur magma. Namun, Asrori meminta warga tetap menjauhi zona merah karena karakter Sinabung yang sulit diprediksi dan statusnya pun masih Awas.
Pada Februari lalu, Sinabung erupsi besar dengan tinggi kolom abu lebih dari 5.000 meter tanpa didahului pantauan tremor pada seismograf.