Hunian Sementara Bukit Duri Terganjal Sengketa Ahli Waris
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penyediaan hunian sementara (shelter) bagi warga korban penggusuran di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, masih terganjal sengketa ahli waris lahan. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman berencana menyewa lahan dan gedung milik PT Setia Tjiliwung di Jalan Bukit Duri Tanjakan untuk digunakan sebagai shelter.
Yaya Mulyarso, Kepala Suku Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Jakarta Selatan, mengatakan, penyediaan shelter bagi warga Bukit Duri masih dalam proses. Proses administrasi penyediaan tempat untuk hunian sementara itu ternyata tidak mudah. Awalnya, Dinas Perumahan berencana membangun shelter di eks kantor pajak di sekitar SMA Negeri 8 Jakarta. Namun, ternyata proses izin pemakaian gedung tersebut tidak mudah. Pemprov sudah bersurat ke Dirjen Pajak tetapi belum mendapatkan balasan.
”Kemungkinan shelter akan dibangun di lahan PT Setia Tjiliwung. Namun, di sana, kan, ada 27 ahli waris dari dua keluarga. Sekarang, kami menunggu hasil penyatuan persepsi dari ahli waris yang masih bermusyawarah,” ujar Yaya, Minggu (30/9/2018).
Akhir pekan lalu, Dinas Perumahan berdialog dengan warga yang tergabung dalam Komunitas Ciliwung Merdeka, ahli waris PT Setia Tjiliwung, Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), serta perwakilan warga. Anggaran untuk pembangunan shelter itu juga sudah masuk dalam APBD-P 2018 senilai Rp 5,9 miliar.
Yaya menambahkan, menurut rencana anggaran tersebut akan digunakan untuk menyewa lahan, bangunan, merapikan, mengecat ulang, dan membuat sekat. DPRKP akan memanfaatkan bangunan yang sudah ada di lahan seluas total 1,6 hektar tersebut. Di tempat itulah, hunian sementara untuk warga Bukit Duri akan dibangun.
”Untuk membeli lahan guna membangun kampung susun sepertinya belum bisa. Karena di situ kepemilikan lahannya belum mutlak. Ditambah lagi ahli waris belum satu suara,” kata Yaya.
Warga pecah suara
Di sisi lain, suara warga korban penggusuran di Bukit Duri ini ternyata pecah. Dari total 93 warga yang mengajukan gugatan class action penggusuran untuk program normalisasi Kali Ciliwung, tidak semuanya mau menerima program hunian sementara. Sebanyak 25 warga Bukit Duri justru menuntut hak ganti rugi mereka. Sebab, mereka menang di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas sengketa penggusuran pada September 2016.
Putusan pengadilan tinggi itu juga mewajibkan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC) dan Pemprov DKI membayar ganti rugi Rp 18,6 miliar atau Rp 200 juta per orang. Saat ini, putusan pengadilan tinggi itu belum inkrah. Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan alasan menolak diminta ikut membayar ganti rugi kepada warga Bukit Duri.
Kasmo, warga Bukit Duri yang ikut mengajukan class action, mengatakan, ada 25 warga yang memilih ganti rugi uang seperti putusan pengadilan. Bagi Kasmo, berapa pun uang yang akan ia terima akan digunakan untuk modal usaha. Ia juga berpendapat wacana pembangunan kampung susun akan sulit diwujudkan karena kendala pembebasan lahan. Baginya, lebih baik menerima uang ganti rugi yang bisa digunakan untuk keperluan lain. Setelah penggusuran, Kasmo dan keluarga sempat tinggal di Kampung Melayu. Setelah setahun, ia kemudian pindah ke daerah Cipinang Lontar.
”Saya sudah bertemu wali kota, biro hukum Pemprov DKI, mereka bilang akan memfasilitasi apa pun keinginan warga. Hanya saat ini belum bisa karena BBWSCC, kan, kasasi di MA,” kata Kasmo.
Sere Situmeang, warga Bukit Duri lainnya, juga lebih memilih ganti rugi berupa uang. Ia menolak pembangunan hunian sementara ataupun kampung susun. Uang ganti rugi yang diterima akan digunakn untuk mengontrak rumah di Kampung Melayu.
Terkait dengan perbedaan pendapat di kalangan warga ini, Yaya Mulyarso mengatakan, Pemprov tetap akan memfasilitasi kedua warga. Warga yang mau tinggal di hunian sementara akan difasilitasi. Begitu pula dengan warga yang memisahkan diri dan menuntut ganti rugi. Mereka harus bersabar menunggu keputusan hukum tetap.