JAKARTA, KOMPAS - Keterbukaan informasi dari badan publik menjadi salah satu upaya meluruskan informasi hoaks yang menyebar di masyarakat lewat sejumlah media sosial. Di sisi lain, salah satu asas dari pemerintahan yang baik di antaranya keterbukaan.
Saat peringatan Hari Hak untuk Tahu di Silang Timur Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Minggu (30/9/2018), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang ditunjuk menjadi Duta Keterbukaan Informasi, mengatakan, salah satu tujuan keterbukaan informasi mengimbangi perkembangan berita-berita hoaks.
Untuk mengimbanginya, diakui Mahfud, memang tidak mudah. Pasalnya, ada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu di balik penyebaran berita-berita hoaks. ”Berita hoaks beredar setiap saat dan itu merusak proses pengolahan informasi dan menimbulkan fitnah-fitnah di tengah masyarakat,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, bangunan hukum, struktur ketatanegaraan, dan kelembagaan Indonesia saat ini menyediakan keterbukaan informasi publik secara baik. Masyarakat bisa menjadikannya sebagai rujukan dari berita hoaks yang berkembang.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika R Niken Widiastuti membenarkan hal tersebut. Karena itu, Niken mendorong badan publik menyediakan berbagai informasi agar bisa dijadikan rujukan oleh masyarakat. Hal ini jadi tugas pejabat pengelola informasi dan dokumentasi di seluruh badan publik. ”Lewat hal itu, informasi hoaks bisa diverifikasi benar atau tidaknya. Masyarakat yang masih ragu-ragu juga dapat mengirim informasi hoaks ke aduan konten lewat laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata Niken.
Kerahasiaan sementara
Lebih jauh, Mahfud mengatakan, hak masyarakat mendapat informasi diatur beberapa aturan konstitusi. ”Pada Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan, setiap orang berhak mendapatkan informasi dan mengolah informasi untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kehidupannya,” ucapnya.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan, setiap orang berhak mendapatkan informasi. Dan, setiap badan publik wajib membuka informasi, kecuali hal-hal bersifat rahasia. ”Misalnya, instalasi militer, dokumen pertahanan, dan data intelijen. Selain itu, ada yang kerahasiaannya bersifat sementara. Artinya, terbatas waktu, misalnya 20 tahun,” kata Mahfud.
Sebaliknya, informasi publik yang tidak terbuka akan memicu korupsi, kolusi dan nepotisme. Dampaknya, berakibat pada penderitaan bagi orang yang seharusnya tidak menderita, serta bisa memberi kebahagiaan kepada orang yang seharusnya menderita.
”Itu sebabnya, ketika saya pimpinan MK, setiap ada putusan, pengadilan dibuka. Ditampilkan di layar monitor, tersalur ke seluruh Indonesia, termasuk di fakultas hukum di tiap kampus agar tidak dipalsukan prosesnya,” ujar Mahfud.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengajak seluruh masyarakat agar tidak sungkan menanyakan informasi apa pun kepada badan publik. Dorongan juga diberikan kepada publik lainnya untuk membuka informasi yang benar. ”Badan publik sebetulnya wajib menyediakan informasi, baik diminta maupun tidak diminta. Itu adalah salah satu asas pemerintahan, yaitu transparansi,” kata Rudiantara. (Fajar Ramadhan)