BANYUWANGI, KOMPAS - Komunitas pencinta kopi mampu mendorong peningkatan produksi kopi nusantara. Komunitas kopi diharapkan membantu edukasi pekebun dalam budidaya dan pengelohana pasca panen sehingga kualitas dan kuantitas kopi pekebun meningkat.
Komunitas kopi biasanya terdiri dari roastery (penyangrai kopi), pemilik kedai, barista, dan penikmat kopi. Keberadaan komunitas kopi yang diiringi munculnya kedai-kedai kopi mampu menumbuhkan minat kopi pada khalayak umum.
Hal itu diungkapkan oleh praktisi kopi Setiawan Subekti dalam peringatan Hari Kopi Internasional di Banyuwangi, Senin (1/10/2018). "Selama ini Indonesia dikenal sebagai penghasil ketiga terbesar kopi robusta. Padahal kopi yang paling banyak dikonsumsi oleh penikmat kopi dunia ialah kopi arabika," ujarnya.
Setiawan mengatakan, saat ini kebutuhan akan kopi arabika dunia hanya mampu dipenuhi sekitar 70 persen. Data Internastional Coffee Organization menyebut produksi kopi arabika secara global di tahun 2017 sekitar 5,93 juta ton.
Oleh karena itu, Indonesia dinilai memiliki potensi untuk turut membanjiri pasar kopi dunia dengan produksi kopi arabika. Menurut Setiawan, secara kondisi geografis Indonesia memiliki lahan yang cocok untuk ditumbuhi kopi arabika.
"Indonesia memiliki lahan yang cocok untuk arabika. Sekarang, tinggal bagaimana kita menanamnya. Komunitas punya peran penting untuk mendampingi para pekebun kopi dalam menghasilkan kopi arabika yang berkualitas," tutur dia.
Setiawan mengatakan, dengan pengetahuan dan kemampuan yang terbatas, produksi pekebun kopi turun antara 3 persen hingga 5 persen per tahun. Bila dalam satu hektar ditumbuhi 1.000 tegakan tanaman kopi, maka dalam 3 tahun kebun kopi tersebut akan tidak berproduksi.
Kehadiran komunitas kopi diharapkan dapat mengedukasi para pekebun sehingga bisa menekan potensi kehilangan produksi tersebut. Selain itu, komunitas kopi diharapkan membantu petani agar mendapat nilai tambah dari hasil kebun sehingga mampu melakukan peremajaan tanaman secara berkala.
"Komunitas kopi juga harus berupaya membawa nama kopi lokal agar lebih dikenal. Dengan demikian akan semakin banyak penikmat kopi yang mencari kopi lokal sehingga kebutuhan kopi lokal hasil pekebun akan turut meningkat sehingga pekebun termotivasi untuk meningkatkan produksinya," ujar pemilik sanggar kopi Genjah Arum tersebut.
Hal senada disampaikan Kisma Donna dari komunitas kopi Barista Rostery (Barres) Banyuwangi. Ia mengungkapkan, di Banyuwangi ada 70 kedai kopi yang sudah bekerjasama dengan 30 petani binaan.
Melalui komunitas kopi Barres Banyuwangi, para pemilik kedai, barista dan rostery telah mengedukasi para pekebun kopi. Para pekebun dilatih untuk menghasilkan kopi yang diminati pasar.
"Serapan pasar yang paling potensial ialah yang pembeli yang mencari hasil produksi dari pekebun yang terbaik. Para pembeli tersebut mencari kopi dari hasil penanaman yang baik, panen petik merah, serta pengolahan pasca panen yang baik pula," ujarnya.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Dias Satria menambahkan, upaya peningkatan nilai tambah kopi juga bisa dilakukan dengan berkolaborasi dengan sektor wisata. Salah satunya dengan mengadakan gelaran festival kopi.
"Festival memiliki potensi untuk mengangkat produk lokal produk. Melalui Festival Kopi Ijen, produksi kopi Banyuwangi dari lereng Gunung Ijen bisa menyamai gaung kopi gayo," ujarnya.