Pemacokan, Ancaman Serius Pengungkapan Sejarah Natuna
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
NATUNA,KOMPAS—Perburuan benda-benda kuno, khususnya keramik, di Kabupaten Natuna jadi ancaman serius upaya pengungkapan sejarah Natuna. Tinggalan-tinggalan keramik yang bisa jadi penunjuk keberadaan peradaban Natuna sejak berabad-abad silam itu lambat laun lenyap karena berpindah ke tangan-tangan kolektor.
Sejak 2010 lalu, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengawali penelitian di Natuna. Temuan-temuan pecahan keramik kuno yang berserakan dan tesebar di sepanjang pesisir Natuna menjadi penunjuk awal bahwa kawasan ini pernah menjadi tempat persinggahan dan jalur perniagaan dunia.
Pada tahun 2015, tim peneliti Puslit Arkenas melakukan ekskavasi di Situs Tanjung, Natuna. Di tempat itu, mereka menemukan kerangka manusia yang dikubur dengan posisi kepala ke arah barat daya dan kaki ke arah timur laut.
Kondisi kerangka itu tak lagi utuh, tulang paha kirinya hilang dan bagian kanannya miring, begitu juga hidung dan giginya rusak. Di bagian pergelangan tangan kiri kerangka ini juga terpasang tiga gelang perunggu berdiameter 5,7 sentimeter dan 5,8 sentimeter.
Setelah penggalian diperluas, di Situs Tanjung pula para peneliti menemukan tiga kerangka manusia yang dikubur berjajar dengan orientasi arah sama seperti kerangka sebelumnya. Di dekat tiga kerangka itu, juga ditemukan senjata-senjata logam sebagai bekal kubur berupa parang dan keris.
Kerangka-kerangka itu ditemukan tak lengkap atau rusak sehingga tidak bisa diamati bagaimana bukti-bukti tentang cara hidup mereka. Hal yang mencurigakan, kerusakan tidak hanya dari sisi kelengkapan tulangnya, tetapi di beberapa tulang ditemukan lobang-lobang bekas tusukan benda keras.
“Ciri-ciri itu menunjukkan, kerusakan-kerusakan kerangka itu diduga akibat aksi pemacokan. Diperkirakan, keramik-keramik yang jadi bekal kuburnya hilang diambil para pemacok (pemburu benda-benda antik),” kata arkeolog senior Puslit Arkenas Sonny C Wibisono, Sabtu (29/09/2018) di Natuna, Kepulauan Riau.
Ciri-ciri itu menunjukkan, kerusakan-kerusakan kerangka itu diduga akibat aksi pemacokan.
Menurut Sonny, aksi pemacokan mengakibatkan bukti-bukti arkeologi hilang berikut cerita-cerita di baliknya. Praktik perburuan benda-benda antik seperti keramik mengancam upaya penelusuran sejarah Natuna berbasis riset dan penelitian yang baru dimulai sejak delapan tahun terakhir.
Seperti halnya di Natuna, praktik penguburan kuno dengan bekal-bekal kubur ditemukan pula di sejumlah situs Nusantara lain, seperti di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan), Semawang (Bali). Di Situs Batangmatasapo, Selayar dan Situs Sanur, Bali misalnya, kerangka-kerangka masih ditemukan lengkap bersama dengan bekal-bekal kuburnya berupa mangkuk-mangkuk keramik China masa Dinasti Song (abad ke-10 sampai 13).
Aksi Puluhan Tahun
Praktik pemacokan atau biasa disebut macok dilakukan dengan menusuk-nusuk daratan pasir menggunakan kawat baja. Aksi semacam ini juga pernah marak dilakukan di Sulawesi sekitar tahun 1970an yang kemudian ditiru masyarakat Natuna mulai tahun 1990an.
Hanya dengan berbekal alat sederhana berupa kawat baja sepanjang 1,5 meter yang dilengkapi pegangan kayu berbentuk T, warga menelusuri kandungan benda-benda arkeologi yang terkubur di dalam tanah pasir di Natuna.
Di satu sisi, kehadiran pemacok mengancam kelestarian benda-benda bersejarah keramik di Natuna. Dari sisi lain, para peneliti mengakui peran para pemacok amat membantu para arkeolog dalam proses-proses penggalian atau ekskavasi.
“Mereka sangat lihai mencari titik-titik di mana keramik terpendam. Pemerintah daerah Natuna kini sedang menyiapkan pembangunan museum, semoga nantinya benda-benda bersejarah baik keramik maupun peninggalan-peninggalan lainnya bisa disimpan di sana,” kata Sonny.
Akhir-akhir ini, perdagangan benda-benda antik keluar Natuna melalui angkutan udara semakin sulit dilakukan. Namun demikian, distribusi barang melalui akses angkutan laut sulit dikontrol mengingat 99 persen kawasan Natuna berupa lautan.
“Kehadiran para arkeolog ke Natuna terlambat. Banyak keramik-keramik yang ditemukan penduduk setempat sejak puluhan tahun lalu yang langsung dijual ke Singapura,” ungkap Mustafa, warga Natuna.
Dian, guru di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Bunguran Timur, Natuna mengaku pernah memacok di Pantai Tanjung. “Saya pernah memacok dari pukul 08.00 sampai sore hari. Sampai sekarang masih banyak warga yang memacok di pantai itu,” kata Dian.
Hasil penelitian Puslit Arkenas di Pulau Bunguran Besar, Natuna, menemukan begitu banyak artefak keramik dari periode abad ke-10 hingga 20. Keberadaan keramik-keramik yang sebagian besar berasal dari China itu makin menegaskan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan global di Natuna.
“ Pulau-pulau di Laut Natuna Utara sebagai ‘batu loncatan’ dalam perjalanan pelayaran dan niaga, seperti Kepuluan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Natuna menjadi pelabuhan singgah karena hasil alamnya dan letaknya yang strategis. Sejak dahulu, Natuna memiliki kekayaan hasil hutan, ikan, dan batu granit,” papar peneliti Puslit Arkenas lainnya, Prof Naniek Harkantiningsih.
Natuna menjadi pelabuhan singgah karena hasil alamnya dan letaknya yang strategis. Sejak dahulu, Natuna memiliki kekayaan hasil hutan, ikan, dan batu granit.
Selain memiliki hubungan jarak jauh dengan negara-negara lain, pada zaman dahulu Natuna menjalin hubungan jarak dekat dengan pulau-pulau Nusantara. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gerabah berbentuk kendi dari Gosari, Gresik, Jawa Timur era abad ke-13.