JAKARTA, KOMPAS – Kurangnya informasi terhadap wilayah rawan gempa membuat pengembang tidak bisa menentukan standar bangunan yang tepat. Hal ini berpotensi membahayakan calon penghuni. Selain itu, standar tersebut juga harus disosialisasikan hingga ke tingkat pemerintahan terbawah.
Soelaeman Soemawinata, Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) mengatakan seharusnya konstruksi sebuah bangunan atau perumahan di kawasan rentan terkena gempa tidak dilakukan. Sebaiknya wilayah tersebut dibiarkan sebagai kawasan terbuka hijau untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
Bila pengembang ingin membangun di wilayah tersebut, mereka harus memiliki informasi lengkap tentang wilayah tersebut. data tersebut berupa kondisi tanah, letak lokasi pada patahan atau lempeng yang ada dan lainnya. Informasi semacam ini amat penting bagi pengembang yang ingin mendirikan sebuah bangunan. Mereka dapat menentukan bentuk bangunan hingga tata letak yang tepat.
Bila pengembang ingin membangun di wilayah tersebut, mereka harus memiliki informasi lengkap tentang wilayah tersebut berupa kondisi tanah, letak lokasi pada patahan atau lempeng yang ada dan lainnya.
Sayangnya, data tersebut jarang dimiliki oleh pemerintah daerah setempat. Menurut Soelaeman, informasi seperti intensitas gempa, pergeseran tanah, seringkali tidak disimpan dalam pusat data yang terintegrasi. Ketiadaan pusat data ini menyebabkan kontraktor melewatkan hal-hal penting yang wajib diketahui.
“Kalau tidak ada data-data tersebut, dapat berpengaruh ke bangunan yang dibuat dan dapat membahayakan penghuni,” ujar Soelaeman di Jakarta pada Senin (1/10/2018) siang.
Menurut Soelaeman, bila pengembang ingin membangun di wilayah yang rawan gempa atau tepat di bawah patahan atau sesar, mereka harus membuat bangunan dengan teknologi ramah gempa. Bahan bangunan yang digunakan sebaiknya yang ringan dan tahan goyangan. Penggunaan bahan ringan dan fleksibel dapat mengurangi intensitas kerusakan akibat gempa.
Bila pengembang ingin membangun di wilayah yang rawan gempa atau tepat di bawah patahan atau sesar, mereka harus membuat bangunan dengan teknologi ramah gempa.
Standar penggunaan bahan dan konstruksi bangunan ramah gempa telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 29 tahun 2006. Peraturan tersebut mengatur ketentuan umum, tapak bangunan, bentuk bangunan, hingga tata ruang di bagian dalam bangunan.
Terkait amblasnya perumahan Perumnas Balaroa saat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, ia berpendapat gempa dengan Magnitudo 7,4 tersebut pasti akan merusak perumahan tersebut. Efek kerusakan yang ditimbulkan semakin hebat karena perumahan berada tepat dibawah patahan Palu-Koro.
“Di sinilah adanya informasi tentang patahan itu berperan penting. Sebaiknya ada alur informasi yang baik dari pusat hingga daerah terkecil,” ungkapnya.
Dibangun 1983
Dihubungi di tempat terpisah, Sekretaris Perusahaan Perumnas, Maman mengatakan kompleks Perumnas Balaroa dibangun sejak tahun 1983. Usia bangunan yang cukup tua menurutnya berpengaruh terhadap tingkat kerusakan yang ada
“Kami juga mendapat laporan saat gempa terjadi, tanah di perumahan tersebut bergeser yang kemudian menyebabkan amblasnya permukaan tanah,” ujar Maman.
Saat ini, pihak Perumnas sedang memfokuskan usahanya terhadap pengiriman bantuan kebutuhan pokok pengungsi. Selain itu, mereka juga mengirimkan tim penyelamat yang akan membantu tim SAR dalam menangani korban.
Saat ini belum ada rencana yang pasti terkait pembangunan kembali. Perumnas menunggu kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat
“Untuk saat ini belum ada rencana yang pasti terkait pembangunan kembali. Perumnas menunggu kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat,” tutupnya. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA TELLING)