JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan pencampuran 20 persen biodiesel ke setiap satu liter solar sejak satu bulan terakhir mendesak dievaluasi. Tanpa evaluasi, target penghematan devisa dinilai bakal sulit terealisasi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan, setidaknya lima badan usaha bahan bakar nabati (BUBBN) dan satu badan usaha bahan bakar minyak (BUBBM) belum menerapkan kebijakan B20 secara optimal. Keenam badan usaha itu terindikasi masih memproduksi solar murni tanpa campuran biodiesel (B0).
”Sejauh ini masih dugaan pengenaan denda. Dugaan itu karena faktanya masih ditemukan penjualan B0,” kata Djoko seusai rapat koordinasi penerapaan B20 di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Jakarta, Jumat (28/9/2018) malam.
Alasan badan usaha masih memproduksi B0 beragam. Salah satunya karena kekurangan pasokan minyak sawit atau fatty acid methyl esters (FAME).
Distribusi FAME ke sejumlah terminal bahan bakar terkendala akses geografis. Namun, dugaan dan alasan badan usaha masih harus diverifikasi ulang. Jika terbukti salah, mereka akan dikenai denda.
Deputi III Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Kementerian Koordinator Perekonomian Montty Girianna menjelaskan, kebijakan B20 berlaku sejak 1 September 2018. Menurut ketentuan, badan usaha pelanggar harus membayar denda Rp 6.000 per liter solar yang tidak dicampur.
Pemerintah juga membentuk tim verifikasi khusus lintas sektoral untuk evaluasi pelaksanaan B20. Mereka merumuskan skema besaran dan pembayaran denda, solusi permasalahan distribusi, serta pengawasan terhadap badan usaha. Hasil verifikasi pelanggaran akan diumumkan pekan ini.
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri ESDM mewajibkan pencampuran minyak sawit dan solar dilakukan semua pengimpor, termasuk Pertamina sebagai produsen dalam negeri.
Perbaiki regulasi
Ekonom Universitas Katholik Atma Jaya, A Prasetyantoko, menilai, regulasi B20 harus segera diperbaiki, terutama terkait masalah teknis. Pemerintah mesti memfasilitasi agar badan usaha dapat mengakses bahan baku minyak sawit. Selain alur distribusi, pencampuran juga harus diawasi intensif.
”Karena tidak ingin menaikkan harga BBM, saat ini pilihan yang tersedia untuk mengendalikan impor migas hanya implementasi B20 sehingga harus maksimal dan efektif,” kata Prasetyantoko.
Impor minyak jadi salah satu pemicu defisit neraca migas triwulan II-2018 sebesar 2,7 miliar dollar AS dari total defisit transaksi berjalan 8 miliar dollar AS. Tanpa perbaikan regulasi, defisit transaksi berjalan sulit diperbaiki.
Penggunaan B20 jadi kebijakan jangkar untuk memperlambat impor migas, terutama solar. Kebijakan B20 dapat mengurangi 4 juta kiloliter (kl) solar impor hingga akhir 2018. Penghematan devisa dari implementasi B20 itu sekitar 2,3 miliar dollar AS.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, kendala implementasi B20 masih wajar karena baru berlangsung satu bulan. Pertamina akan mencari solusi untuk mengatasi pasokan FAME yang terlambat akibat kesulitan kapal. Pemerintah dan badan usaha akan menyelesaikan masalah B20 kasus per kasus.