Saat ”Pagar Nusa” Digunakan untuk Melawan Radikalisme
Meskipun setelah bom di Surabaya, Jawa Timur, saat ini seolah ”sepi” dan tidak ada lagi ancaman aksi terorisme, pemerintah dan masyarakat Indonesia tetap selalu waspada. Segala daya dan cara digunakan untuk meminimalisasi aksi terorisme. Pasalnya, aksi terorisme seperti ”tamu tak diundang yang datang tiba-tiba tanpa mengetok pintu”.
Rabu (29/8/2018) malam di teras puncak gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, 15 pesilat berlatih dengan dipandu Sastro Adi, salah satu guru silat Pagar Nusa. Mereka berlatih untuk melawan setiap ancaman terorisme yang mengancam Indonesia.
Seragam yang digunakan warna hitam dan sabuk hijau. Peserta latihan pun datang dari berbagai latar belakang. Ada yang sudah bekerja, masih kuliah, hingga siswa setingkat SMA. Untuk menghindari kesibukan di siang hari, mereka pun berlatih di malam hari. Mereka terus berlatih untuk bisa ikut menjaga bersama komponen lain di Indonesia dari berbagai ancaman terorisme.
Bukan musuh biasa
Radikalisme dan intoleransi sejauh ini telah menjadi musuh bersama negeri ini. Bukan sekadar musuh biasa sebab paham-paham kekerasan atas nama agama ternyata menyerang sumber daya paling vital bagi bangsa, yakni kalangan pemuda. Sejumlah penelitian menunjukkan, kalangan muda merupakan kelompok yang paling rentan dipengaruhi oleh radikalisme.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahid Foundation pada 2016 menyebutkan, 60 persen anak-anak yang menjadi anggota kegiatan Rohani Islam (Rohis) mengaku siap berangkat ke Suriah untuk berjihad. Data ini cukup mengkhawatirkan mengingat kesiapan berangkat ke Suriah menandakan kecenderungan pemahaman kelompok muda itu tentang jihad ialah berperang atau setidak-tidaknya menggunakan kekerasan untuk membela agama.
Tidak berhenti sampai di situ, bom bunuh diri di Surabaya, Jawa Timur, 13 Mei 2018, yang dilakukan oleh satu keluarga di tiga gereja berbeda, mengungkap sisi lain dari kehidupan dan perjalanan salah satu pelaku, yakni Dita Oepriyanto. Bom bunuh diri itu melibatkan Dita, istrinya, serta empat anaknya.
Dalam salah satu diskusi yang digelar di kantor Wahid Foundation, 15 Mei 2018, terungkap gejala intoleransi dan radikalisme pada sosok Dita diduga tumbuh saat ia menapaki remaja atau saat duduk di bangku SMA. Salah seorang teman SMA Dita, Ahmad Faiz Zainuddin, alumnus SMA 5 Surabaya, menjadi narasumber diskusi tersebut.
Faiz mengatakan, upaya penyusupan paham radikal itu rentan dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal untuk mencari kader-kader muda yang berpotensi di sekolah-sekolah. Dari pengalaman pribadinya sebagai aktivis Rohis di SMA 5 Surabaya, kelompok-kelompok itu bisa menyusup ke dalam kegiatan pengajian dan pendalaman agama yang diadakan oleh Rohis.
”Saya dulu ibaratnya shopping atau menjajal semua kegiatan keislaman, mulai dari yang lembut, keras, sampai yang paling keras, karena saya ingin tahu pemikiran-pemikiran keislaman, dan saya dalam proses mencari jati diri atau ideologi saat itu. Proses yang sama juga dijalani oleh Dita dan banyak lain pemuda seperti kami waktu itu. Ada yang kemudian masuk ke dalam jaringan pemahaman yang radikal, tetapi banyak juga yang akhirnya keluar karena tidak cocok dengan pemahaman itu,” ujar Faiz dalam diskusi bertema ”Setelah Mako Brimob dan Bom Surabaya” yang digelar Wahid Foundation di Aula Rumah Pergerakan Gus Dur, Jakarta.
Belajar dari pengalamannya bersama Dita, menurut Faiz, pencegahan terorisme itu bisa dilakukan dengan memberikan pemahaman keagamaan yang benar kepada siswa SMA dan mahasiswa yang sedang mencari jati diri dan nilai-nilai ideal. Bila hasrat pencarian ideologi itu menemukan guru atau pembimbing yang baik, pemahaman kekerasan tidak akan tumbuh. Sebaliknya, bila generasi muda itu mendapatkan guru atau ustaz yang berpandangan keras, dan secara logis bisa menjawab apa yang dicari oleh mereka, bukan tidak mungkin yang lahir kemudian adalah orang-orang berpandangan keras dan intoleran.
Dalam konteks ancaman radikalisme itu, setiap pihak diharapkan bisa memberikan solusi dan sokongan guna mencegah hal itu terjadi. Uniknya, menurut Faiz, sekalipun dirinya sempat mengikuti kajian-kajian keagamaan bersama dengan Dita, dirinya tidak ikut terseret dalam arus paham kekerasan. Apa resepnya? ”Karena saya kembali kepada pemahaman Islam yang diajarkan ayah saya yang kebetulan ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya,” ujarnya.
Pandangan keagamaan yang moderat di keluarga Faiz sedikit banyak mampu mengerem radikalisasi pandangannya sebagai anak muda idealis. Faiz menemukan ”imunitas” terhadap radikalisme sebab ia kembali kepada pemahaman agama yang moderat dan berbasis kearifan lokal Nusantara.
Melawan dengan silat
Bagi sejumlah pemuda lainnnya, mereka cukup beruntung tidak terjebak dalam arus pemahaman keagamaan yang keras karena banyak berdialog dan berkegiatan dengan kelompok moderat. Sejumlah kegiatan yang diminati kalangan muda ternyata berperan cukup signifikan untuk mengerem radikalisme. Salah satunya ialah dengan menyalurkan energi mereka ke dalam kegiatan olahraga atau bela diri.
Anggi Fenika (21), mahasiswa jurusan sosiologi di sebuah kampus swasta di Jakarta, menyadari kondisi ini. Di saat pandangan agama yang cenderung keras cukup dominan di kampus dan institusi pendidikan lainnya, ia mencari kesibukan dengan menjadi anggota Pagar Nusa, sebuah organisasi bela diri di bawah naungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Berbasis hobinya mengikuti pencak silat sejak SD, Anggi meneruskan kesenangannya dengan berlatih di Pagar Nusa.
”Pemahaman orang bisa beda-beda soal agama, tetapi di sini (Pagar Nusa) saya bisa mendapatkan teman dan berlatih silat. Di sini saya bisa mendapatkan pemahaman keislaman yang tidak keras dan bisa menerima perbedaan dengan orang lain,” kata Anggi.
Ajeng (16), siswi salah satu SMK di Jakarta, kerap mendapati temannya yang berpandangan keras soal agama rupanya tidak kritis dalam menerima ajaran yang mereka terima. Mereka terjebak masuk ke dalam pemahaman yang radikal karena mudah percaya dan tidak mau merujuk lebih jauh sanad (rangkaian perawi ajaran atau hadis) ilmunya ustaz atau guru yang berdakwah.
”Seharusnya jangan gampang percaya dulu karena harus diketahui dulu, dia (ustaz) berguru di mana dan apakah sanad ilmunya jelas,” katanya yang juga pesilat Pagar Nusa.
Menarik untuk mengkaji sejauh mana sebenarnya Pagar Nusa menaruh perhatian pada radikalisme. Selama ini organisasi itu rutin menggelar latihan tiga kali dalam seminggu untuk anggota yang sebagian besar masih di bawah usia 35 tahun itu.
”Ingat, lawan akan berusaha mendekatimu supaya dia bisa menyerangmu dalam jarak dekat. Kalau itu terjadi, kamu akan mati langkah,” ucap Sastro kepada murid-muridnya. Angin malam akhir Agustus itu bertiup lembut melenakan. Mengenakan sarung, sandal gunung, dan peci di kepala, kaki Sastro digerakkan zig zag mendekati salah seorang muridnya.
Tangan kanan mengepal dan telapak kirinya membuka membentuk gerakan tolakan sembari sikunya aktif digerakkan mengikuti langkah kakinya. Rambut panjangnya diikat membandul ke kanan dan ke kiri. Sastro terus mendekati muridnya. Muridnya gagal waspada sehingga hampir saja sebuah tolakan dari gerak siku Sastro menyasar dadanya. Tetapi tiba-tiba saja, hap! Pukulan itu ditahan hanya sebagai ancang-ancang oleh Sastro.
”Lihat ini! Hap, hap, hap!” Sastro mempraktikkan kembali gerakannya. ”Kamu biarkan lawan mendekatimu dan kamu tidak waspada. Lawan masuk ke dalam jarak amanmu sebelum kamu sempat menyadarinya,” ucap Sastro kepada muridnya.
Pelajaran menyerang dan bertahan yang dipraktikkan Sastro tersebut adalah sedikit saja dari latihan pencak silat Pagar Nusa. Gerakan tolakan dan kelincahan kaki yang mendominasi jurus pencak silat Pagar Nusa sedikit banyak merefleksikan cara pandang para pendekarnya.
Sejak pertama kali digagas pembentukannya pada 1985, pencak silat Pagar Nusa bertujuan membentuk karakter dan bukan untuk gaya-gayaan. Bahkan, filosofi dasar gerakan pencak silat yang dikembangkan Pagar Nusa sejatinya ialah untuk bertahan, menghadang, membela diri, atau defensif. Hal itu sejalan dengan tujuan awal didirikannya Pagar Nusa, yakni untuk melindungi kiai atau ulama, serta nilai dan asas kebangsaan yang diemban para kiai itu. Pagar Nusa itu sendiri akronim dari pagar NU dan bangsa.
Pukulan-pukulan yang dikeluarkan pendekar Pagar Nusa tidak bertujuan mematikan, tetapi sekadar menghalau, menghadang, dan melumpuhkan. Gerakan bantingan ataupun sapuan kaki yang diiringi oleh pukulan bersifat hanya ”setengah” menyerang. Selalu ada setengah kekuatan lagi yang disimpan untuk mengukur kekuatan lawan.
”Memukul pun ditahan setengah saja kekuatannya. Dari situ bisa diketahui kekuatan lawan. Kalau lawan ternyata tidak mampu menandingi pukulan yang setengah kekuatan itu, pukulan itu harus dihentikan. Sebab, dalam pencak silat etikanya tidak boleh melawan orang yang lebih lemah. Orang lemah harus dilindungi, bukan untuk disakiti. Kalau ternyata lawan lebih kuat dari kita, setengah kekuatan yang disisakan tadi diubah untuk tolakan atau menahan serangan sehingga pertahanan diri jadi lebih kuat,” kata Suwadi D Pranoto, mantan pengurus harian Pagar Nusa, yang juga Wakil Sekretaris Jenderal PBNU.
Gerakan pencak silat yang paling bagus, seperti kerap dikenal dengan pencak silat gaya minang dan priangan, atau ada juga yang menyebut bentuk lain, yakni pencak silat cimande atau cianjuran, gerakannya cenderung menyerupai tari. Namun, jangan salah, gerakan paling berbahaya dari pencak silat justru ialah gerakan yang halus atau alusan tersebut. Serangan yang dikeluarkan bisa berbahaya kendati sang pesilat meliuk-liuk, menghindar, dan seolah hanya berpancak-pancak kaki menolak gerakan lawan.
Kendati demikian, dalam konteks tertentu jurus-jurus mematikan Pagar Nusa bisa dikeluarkan manakala terjadi peristiwa darurat, seperti negara dalam serangan musuh. Jurus-jurus itu pun dilarang untuk dipertandingkan karena dikhawatirkan bisa melukai sesama.
Kearifan lokal
Pagar Nusa pun bukan satu-satunya organisasi pencak silat di Tanah Air. Organisasi lain, seperti Muhammadiyah, juga memiliki Tapak Suci, yang merupakan organisasi pencak silat bagi anggotanya. Organisasi pencak silat lainnya bahkan banyak yang lebih tua, semisal Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), yang diperkirakan telah ada sejak 1903. Ada pula silat Perisai Diri yang tumbuh di lingkungan perguruan Taman Siswa serta Merpati Putih yang mulanya banyak ditekuni anggota militer.
Meskipun ada gerakan atau jurus tertentu yang berbeda di antara organisasi pencak silat satu dengan lainnya, menurut Suwadi, filosofi pencak silat sama, yakni untuk membela diri, dan tidak untuk menyakiti orang lain. Karakter itu diyakini bersumber dari kearifan lokal warga Nusantara. Pencak silat merupakan seni bela diri yang banyak berkembang di kalangan etnis Melayu sekalipun dalam perkembangannya memperoleh pengaruh dari jenis bela diri yang lain.
”Kalau di NU, pencak silat itu untuk ibadah sebab dipakai untuk membantu orang lain, melindungi yang lemah. Sikap kasih dan menyayangi pihak lain itu tidak terbatas hanya pada manusia, tetapi seluruh isi alam semesta. Ada konteks menjaga harmoni di dalamnya. Jika pesilat tidak menyayangi makhluk lain, ilmunya diragukan,” kata Suwadi.
Dalam gerakan bukaan di Pagar Nusa untuk menerima serangan lawan, misalnya, tidak pernah terjadi dua tangan pesilat sama-sama mengepal. Pasti salah satu tangan membuka. Satu tangan mengepal maknanya siap menyerang, sedangkan satu tangan yang membuka itu artinya siap menangkis dan membuka pintu perdamaian.
”Pesilat selalu membuka kesempatan islah atau perdamaian. Oleh karena itu, kedua tangannya tidak mengepal dalam gerakan bukaan. Pintu perdamaian selalu terbuka dan suatu persoalan tidak harus diselesaikan dengan perkelahian. Kesabaran adalah jurus tertinggi. Hal ini berbeda kalau dibandingkan dengan jenis bela diri lain, yang kedua tangannya mengepal dalam gerakan bukaan,” papar Sastro.
Menilik filosofi dan makna gerakan yang terkandung di dalam pencak silat sebagai sebuah kearifan lokal, mustahil ada paham kekerasan dan mau benar sendiri yang dianut oleh pendekarnya. Hakikat pencak silat itu antikekerasan, menghargai orang lain, melindungi yang lemah, welas asih, dan cinta Tanah Air.
Ketua Umum Pagar Nusa M Nabil Haroen mengatakan, tantangan bagi Pagar Nusa kian kompleks karena saat ini banyak pemuda yang terjerat radikalisme. Silat pada dasarnya bisa dijadikan salah satu sarana mengikis radikalisme itu karena selain bisa mengekspresikan diri di dalam kegiatan fisik, pencak silat membentuk karakter.
”Pencak silat mengajarkan orang agar menahan diri, bersabar, mempertahankan diri, dan mengalahkan lawan dengan kelembutan,” katanya.
Di sela-sela latihan silat Pagar Nusa, guru menyisipkan pandangan keagamaan yang moderat. Doa senantiasa mengawali latihan mereka. ”Sebelumnya ada anak-anak yang suka berantem begitu, ya, tetapi ketika mereka ikut latihan, jadi anak Pagar Nusa, malah mereka tidak pernah berantem. Dengan ikut silat, mereka tahu hakikatnya untuk apa mengeluarkan hal-hal dan tenaga yang tidak perlu,” katanya.
Jalan yang ditempuh Pagar Nusa dan kelompok silat lain di Tanah Air tentu tidak mudah untuk menghadang radikalisme. Namun, apa pun bentuknya, upaya-upaya berbasis kearifan lokal bisa menjadi salah satu solusi yang bisa ditempuh untuk melawan radikalisme.