Seabad Wabah Maut Flu Spanyol di Nusantara
Perang Dunia I berakhir bulan November 1918 ketika Kekaisaran Jerman menyerah terhadap Sekutu yang dimotori Inggris-Perancis-Amerika Serikat. Sejarah mencatat harapan adanya masa damai selepas perang.
Namun pada saat sama berjangkit wabah flu spanyol yang menjangkiti 500 juta orang dan mengakibatkan kematian sekurangnya 50 juta manusia.
Perhitungan maksimal ada 100 juta korban di seluruh bumi termasuk di Jawa – Sumatera, hingga Papua di Nusantara. Angka korban kematian akibat flu Spanyol mencapai 2 – 3 persen dari penduduk bumi saat itu yang mencapai 1,9 milyar manusia.
Dahsyatnya wabah tersebut, hingga di beberapa negara Afrika disebut Penyakit Tiga Hari, karena sejak awal demam hingga korban meninggal biasanya terjadi dalam tiga hari saja!
Sejarawan Ravando Lie yang sedang menempuh program doktoral di Universitas Melbourne, Australia, dalam komunikasi telepon mengatakan, wabah flu spanyol pertama kali diketahui di wilayah Hindia Belanda di Sumatera Timur.
“Kemungkinan besar penularan terjadi karena lalu-lintas manusia dari Straits Settlement di Malaya ke Sumatera Timur. Selanjutnya dalam waktu singkat penularan tercatat terjadi di Pulau Jawa terutama dari daerah kota pelabuhan seperti Surabaya dan Batavia,” kata Ravando.
Dahsyatnya wabah tersebut, hingga di beberapa negara Afrika disebut Penyakit Tiga Hari, karena sejak awal demam hingga korban meninggal biasanya terjadi dalam tiga hari saja!
Semasa itu memang banyak pekerja kontrak yang menjadi kuli kebun atau pekerja tambang yang berasal dari China dan India, mengadu nasib di Asia Tenggara. Flu Spanyol sendiri berkembang di Asia dari wilayah jajahan Inggris di India, kemudian menyebar ke Hong Kong. Dari sana wabah penyakit dibawa para penumpang kapal ke Singapura dan wilayah koloni Inggris seperti Strait Settlements, yakni Penang dan Malaka.
Dalam pemberitaan media massa di Hindia Belanda, selanjutnya informasi soal Flu Spanyol banyak diberitakan di Jawa. Persebaran Flu Spanyol kala itu, lanjut Ravando, bergerak ke arah timur ke Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia bersama UNICEF pernah mengadakan penelitian khusus soal Flu Spanyol yang kemudian dibukukan dengan judul "Yang Terlupakan, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda".
Penelitian FIB UI ini mengingatkan bahaya terulangnya tragedi wabah flu, dengan terjadinya kasus flu burung tahun 2003 (galur virus H5N1) dan flu babi (swine flu) dengan virus H1N1 yang merajalela dan mengakibatkan korban jiwa. Dalam wabah Flu Spanyol tahun 1918 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda baru mengambil langkah politik tahun 1920 untuk mencegah terulangnya tragedi ini dengan Flu Ordonantie (Peraturan Tentang Penanganan Flu)
Sejarawan medis Firman Lubis menanggapi penelitian FIB UI dengan UNICEF tahun 2009 mengingatkan, pandemi flu dengan varian virus H1N1 pernah terjadi di Indonesia tahun 1957 dan 1968 sehingga kejadian Flu Spanyol tahun 1918 yang terlupakan, adalah pelajaran penting dalam penanganan pandemi serta pencegahan wabah sejenis.
Dalam buku "Yang Terlupakan, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda" disebutkan tidak banyak sumber arsip dan tertulis soal Flu Spanyol di Hindia Belanda. Sumber utama penelitian berasal dari arsip Kantoor voor Gezonheid Dienst (sekarang Kementerian Kesehatan) yang berasal dari tahun 1914 – 1942 dan arsip dari Binnenland Bestuur (sekarang Kementerian Dalam Negeri) serta Memorie van Overgave (sejenis laporan dinas setelah usai penugasan seorang Residen).
Sedangkan sumber informasi dari media didapatkan dari Batavia yakni dari koran Bataviasch Nieuwsblaad, Surabajasch Handelsblad di Surabaya, dan De Locomotief di Semarang yang semuanya terbit di Pulau Jawa.
Pertama di Kansas
Penelitian UI mengungkapkan, laporan pertama wabah flu tersebut ditemukan di Fort Riley, Kansas, Amerika Serikat di antara para prajurit Angkatan Darat Amerika Serikat bulan Maret 1918 dengan jumlah pasien lebih dari 500 orang dan pada akhir bulan korban meninggal mencapai 40 orang.
Namun, karena suasana Perang Dunia I, berbagai negara memberlakukan sensor terhadap berbagai informasi, termasuk wabah penyakit. Kondisi serupa juga ditemukan di daratan Eropa pada bulan Mei 1918 dan terjadi wabah terhadap pasukan Inggris dan Perancis.
Informasi yang disensor mengakibatkan berita soal wabah flu baru muncul di media massa di Spanyol yang tidak ikut berperang dalam Perang Dunia I. Walhasil wabah tersebut mulai dikenal sebagai Flu Spanyol!
Dalam waktu tiga bulan, dua setengah juta penduduk Eropa tewas karena Flu Spanyol. Pada bulan Juli 1918, wabah sudah menyebar ke Afrika Utara, China, India, Filipina, Selandia Baru, dan Hawaii.
Pada bulan Agustus, para pelaut Amerika Serikat yang baru tiba dari Eropa di pantai timur Amerika Serikat diketahui terkena flu. Lalu dalam waktu singkat, wabah pun merebak di seluruh Amerika Serikat.
Pada kurun waktu bersamaan, wabah merebak di tiga pelabuhan yakni Brest di Perancis yang menjadi pusat embarkasi dan debarkasi tentara Amerika Serikat, pelabuhan Monrovia di Liberia, dan Sierra Leone di Afrika, dan pelabuhan Boston di Negara Bagian Massachusetts, Amerika Serikat.
Di pedalaman Afrika, penyakit menyebar dibawa para penumpang kereta api. Wabah merebak dari Nigeria hingga Namibia dan Afrika Selatan pada September 1918. Di Nigeria selatan, penyakit ini disebut Lululuku atau Membunuh Tiba-Tiba, dan di Bechuanaland di Afrika Selatan disebut Leroborobo yang artinya Penyakit yang Membunuh Banyak Orang.
Pada kurun waktu sama, wabah merebak di India, Ceylon, China, dan Jepang. Daerah perkebunan di India dan Ceylon terkena dampak wabah Flu Spanyol. Korban di India diperkirakan mencapai 18 juta jiwa.
Sementara di Australia yang dianggap berhasil menangani wabah Flu Spanyol, jumlah korban jiwa hingga akhir tahun 1918 mencapai 12.000 jiwa.
Parahnya dampak wabah Flu Spanyol mengakibatkan perundingan damai dalam Perang Dunia I menjadi lebih lunak. Di sisi lain, terjadinya perang yang melibatkan begitu banyak bangsa berkumpul di Front Eropa lalu kembali ke negara dan daerah asal, mengakibatnya penyakit semakin cepat tersebar ke seluruh dunia.
Merebak di Magelang
Adapun di Pulau Jawa, tingkat parahnya Flu Spanyol dapat dilihat dari tabel penyakit dan angka kematian di wilayah Magelang, Jawa Tengah, sejak 1 November – 19 Desember 1918. Magelang kala itu berpenduduk 563.208 jiwa dan tercatat 1.099 angka kematian umum dan kematian akibat Flu Spanyol sebanyak 917 jiwa.
Ravando Lie mengatakan, warga kebanyakan yang tidak memiliki akses pengobatan barat, mencari pengobatan alternatif ke dukun dan orang pintar. Ketika itu banyak diadakan selamatan dan berbagai acara untuk mengusir Flu Spanyol.
Wabah tersebut berangsur surut, tetapi angka pasti berapa banyak korban jiwa di Hindia Belanda tidak pernah diketahui.
Kasus Flu Spanyol yang terlupakan dari sejarah itu hendaknya menjadi pelajaran berharga. Terlebih kini Indonesia memiliki system BPJS yang juga dapat diarahkan pada langkah pencegahan penyakit daripada tindakan kuratif yang memakan biaya besar. Sejarah adalah guru terbaik !