Gempa bumi diikuti tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, membuat banyak politisi beramai-ramai menyampaikan empatinya melalui media sosial. Muncul seruan untuk mengesampingkan kepentingan politik, kemudian bahu-membahu membantu warga Sulteng. Namun, bisakah politisi menahan ”godaan” untuk tidak menjadikan bencana sebagai arena merebut suara pemilih?
Cuitan dari para politisi, untuk menyampaikan rasa dukacita dan doa kepada para korban, muncul di Twitter tak lama setelah terjadi gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Jumat (28/9/2018).
Presiden Joko Widodo yang juga berstatus calon presiden (capres) di Pemilu 2019 mencuit, ”Menjelang maghrib tadi, gempa bumi mengguncang wilayah Sulawesi Tengah dan sekitarnya. Saya memantau dan menyiagakan seluruh jajaran pemerintah terkait menghadapi segala kemungkinan pasca gempa bumi. Semoga saudara-saudara kita di sana tetap tenang dan dalam keadaan sehat.”
Sementara itu, capres Prabowo Subianto melalui akun @prabowo menyampaikan, ”Sahabat, saya baru saja mendarat di Kota Semarang dan mendapat kabar bahwa Sulawesi Tengah terkena gempa. Mari kita doakan agar saudara kita yang terkena musibah diberi kesabaran dan bagi yang meninggal mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.”
Rasa dukacita juga disampaikan pimpinan partai politik (parpol). Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan melalui akun @ZUL_Hasan mencuit tautan video berisi doanya bagi para korban bencana di Sulteng. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy melalui akun @MRomahurmuziy berbagi tautan video berisi doa bagi para korban.
Romahurmuziy juga mencuit, ”Dalam setiap musibah, selalu ada kisah2 kepahlawanan. Rest in peace…may God bless you! Pilot Batik Air Ungkap Komunikasi Terakhir dengan Petugas ATC Bandara yang meninggal saat Gempa Palu”. Ia membagikan tautan berita mengenai Anthonius Gunawan Agung yang meninggal saat bertugas di ATC bandara, setelah ia tetap bertahan di ATC untuk memandu pesawat tinggal landas.
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, melalui akun Twitter-nya juga mengucapkan rasa dukanya.
Hingga saat ini, suara para petinggi parpol dan kandidat relatif tidak membawa-bawa ”aroma” kontestasi Pemilu 2019. Ini berbeda dengan komentar di ruang digital dari sebagian pengguna internet yang tetap ”berbau” pembelahan politik, bahkan saat mengomentari bencana alam di Sulteng.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, di Jakarta, Senin (1/10), mengapresiasi sikap politisi yang menunjukkan empati dan simpati bagi korban, lalu berusaha mengarahkan energi bangsa untuk saling membantu. Namun, dia juga menilai tetap akan ada politisi yang berusaha mengapitalisasi bencana alam untuk menaikkan citranya.
Peluang elektoral
Kajian mengenai kaitan antara politik elektoral, perilaku pemilih, dan bencana alam sudah lama muncul di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. John T Gasper dan Andrew Reeves dalam ”Make It Rain? Retrospection and the Attentive Electorate in the Context of Natural Disasters” yang dipublikasikan di American Journal of Political Science (2011) mengkaji dampak bencana alam terhadap pemilihan gubernur dan presiden di AS pada 1970-2006. Hasilnya, mereka menemukan, para pemilih ”menghukum” presiden dan gubernur atas bencana alam. Namun, efeknya bisa diperkecil oleh para pemilih yang menelaah tindakan dan respons dari pemerintah.
”Ketika gubernur dan presiden masing-masing mengajukan lalu mengabulkan status kebencanaan, mereka membatalkan kerusakan (elektoral) dan acap kali dapat ganjaran (positif),” tulis Gasper dan Reeves.
Dengan adanya peluang elektoral ini, apakah politisi akan benar-benar tak akan menjadikan bencana alam sebagai arena memperebutkan suara pemilih? Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan, tidak dapat dimungkiri, memang ada keuntungan elektoral yang didapat ketika seorang politisi bersimpati dan aktif bertindak ketika ada bencana.
Namun, ia yakin fokus utama para elite adalah membantu meringankan kondisi korban bencana serta membantu pemerintah pusat dan daerah membangun Sulteng pascabencana.
”Tidak tepat memanfaatkan bencana untuk kampanye. Memang, keuntungan elektoral tak bisa dihindari, tetapi itu urusan masing-masing. Yang penting kita semua sepakat bahwa bencana tidak boleh dijadikan bahan berkampanye,” katanya.
Menurut peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syafuan Rozi, bencana alam menjadi salah satu ujian petahana ataupun pihak lain yang berkontestasi dalam pemilu. Ketika petahana terlambat atau tidak mengambil kebijakan tepat, pesaing akan mengkritiknya untuk mendapat poin dari pemilih karena mereka memberikan pengawasan politik. Hal ini dalam batas kewajaran jika kritik dan kebijakan itu masih berimbang serta kritik diikuti dengan tawaran solusi.
Pertanyaannya, mampukah politisi kita benar-benar menahan diri? Semoga.