A Prasetyantoko, Pengajar Unika Atma Jaya, Jakarta
·5 menit baca
Joseph Schumpeter, pelopor teori siklus asal Austria, pernah berujar, saat paling baik melakukan inovasi justru pada saat krisis. Krisis adalah bagian tak terelakkan dalam tatanan ekonomi bebas (kapitalis). Itulah mengapa dalam sistem perekonomian modern, dinamika naik-turunnya perekonomian (boom-bust cycle) menjadi sesuatu yang lazim, bahkan belakangan ini semakin intensif serta cenderung tak terkendali (crisis cycle). Oleh karena itu, pemerintah harus bertugas mengawal siklus melalui kebijakan yang bersifat counter-cycle.
Sejalan dengan argumen di atas, biasanya kebijakan bagus muncul pada saat situasi buruk (krisis). Minggu lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Selain kenaikan suku bunga, BI juga melakukan inovasi kebijakan dengan mengeluarkan instrumen perdagangan mata uang berjangka pada valuta asing (valas) di pasar domestik (domestic non-deliverable forward/DNDF). Tujuannya, agar pelaku usaha bisa melakukan lindung nilai di pasar domestik dalam transaksi dengan valuta asing. Instrumen ini lazim digunakan negara berkembang yang mengalami fluktuasi nilai tukar.
Situasi perekonomian, khususnya dari sisi likuiditas, memang tengah ketat, sehingga diperlukan inovasi kebijakan yang mendorong transaksi lebih lancar. Meski demikian, kekhawatiran banyak pihak perekonomian kita kembali mengalami krisis seperti 1998, tentu saja sangat berlebihan. Pada 1998, kita tak hanya mengalami persoalan likuiditas, namun juga solvabilitas atau kemampuan melunasi kewajiban (asing).
Situasi 2018 ini sejatinya mirip dengan tekanan yang terjadi pada 2013, saat Morgan Stanley memasukkan kita dalam kelompok “the fragile five”, bersama Brazil, Turki, India, dan Afrika Selatan. Situs Bloomberg (edisi 26/9/2018) menyebutkan, situasi belakangan ini pernah kita lihat pada 2013. Sementara, situs berita ekonomi CNBC (edisi 4/9/2018) menulis, investor pada dasarnya punya ingatan pendek, seperti anak kecil yang suka berganti mainan dan membuang (ingatan) saat tak diperlukan.
Perubahan Fundamen
Meski déjà vu, namun beberapa situasi yang pada 2013 masih bersifat sentimen, pada 2018 ini telah berubah menjadi fundamen. Pertama, reaksi investor 2013 terutama didorong rencana pengurangan pasokan likuiditas dan kenaikan suku bunga The Fed (quantitative easing). Rencana tersebut telah menimbulkan kepanikan investor (taper tantrum) yang membuat pasar keuangan negara berkembang bergejolak. Jika pada 2013 masih rencana, pada 2018, baik kenaikan suku bunga maupun pengurangan pasokan likuiditas, telah menjadi realita.
Bahkan, pada masa mendatang, pasar keuangan negara berkembang akan menghadapi tekanan lebih besar akibat kebijakan normaliasi neraca bank sentral The Fed. Menurut Bloomberg, pada 2018 the Fed akan melepas sekitar 372 miliar dollar AS surat utang, 2019 sebesar 329 miliar dollar AS, dan 2020 sebesar 219 miliar dollar AS.
Kedua, pada 2013, kepanikan investor juga didorong proyeksi pelemahan pertumbuhan raksasa ekonomi China. Kini, pelambatan ekonomi bukan lagi proyeksi, melainkan kenyataan. Bahkan, lebih jauh lagi, perang dagang dengan AS telah membuat perdagangan global menurun. Akibatnya proyeksi pertumbuhan global juga terkoreksi.
Situasi fundamen pasar keuangan global 2018 berbeda dengan 2013, di mana surat utang akan membanjiri pasar keuangan AS, sementara suku bunga The Fed naik. Perubahan portofolio investasi global yang menimbulkan gejolak di pasar keuangan negara berkembang akan bersifat struktural, sehingga angka keseimbangan nilai tukar di banyak negara berkembang juga berubah.
Perbedaan situasi 2013 dengan sekarang tak hanya pada tantangan global, melainkan pada level fundamen domestik. Pada 2013, pertumbuhan ekonomi kita sebesar 5,6 persen, sedangkan tahun ini maksimal 5,2 persen. Sementara itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2013 sebesar 24,8 persen, pada 2018 naik menjadi 29,6 persen. Berita baiknya, cadangan devisa 2018 sebesar 118 miliar dollar AS, lebih besar dari 2013 yang sebesar 99,4 miliar dollar AS. Inflasi tahun ini 3,5 persen juga lebih baik ketimbang 2018 yang sebesar 8,1 persen. Depresiasi nilai tukar sepanjang 2018 hingga saat ini 9 persen, masih lebih baik dari 2013 yang terdepresiasi 12 persen.
Meski secara umum tekanan eksternal tahun ini terlihat lebih ringan dari 2013, namun sejatinya lebih serius dan berdurasi panjang. Sehingga, perlu nafas kebijakan yang lebih berorientasi jangka panjang pula. Sayangnya, seperti ditulis dalam laporan Morgan Stanley tentang fragile five pada 2013, selain defisit transaksi berjalan, tantangan lain yang tak kalah penting adalah kelima negara sama-sama menghadapi pemilihan umum.
Mengapa faktor politik penting? Sebab, akan menentukan pilihan kebijakan ekonomi. Pada pemilu 2014, presiden berkuasa Susilo Bambang Yudhoyono tak bisa lagi mencalonkan diri, sehingga tak punya beban menjadi populis. Salah satu kebijakan penting yang diambil pada 2013 adalah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Selain berdampak pada pengurangan tekanan fiskal, juga memitigasi impor minyak. Tahun 2018, rasanya sulit berharap pemerintah akan menaikkan harga BBM karena presiden petahana mencalonkan diri di pemilu 2019. Sehingga, kebijakan B20 (kewajiban mencampur 20 persen kandungan minyak nabati pada solar) harus diefektifkan pelaksanaannya, mengingat pilihan kebijakannya tak banyak.
Di luar berbagai perbedaan konteks dan pilihan kebijakan yang tersedia, ada satu arah kebijakan yang belum terlalu banyak dikembangkan saat ini, yaitu instrumen fiskal untuk mendorong ekspor. Mitigasi persoalan masih bertumpu pada pengurangan impor melalui kebijakan kenaikan 1.147 pos tarif pajak barang impor hingga 10 persen. Mengurangi tekanan neraca transaksi berjalan bisa dilakukan dari dua sisi, yaitu menekan impor dan mendorong ekspor. Jika instrumen menekan impor sudah dilakukan, sebenarnya yang jauh lebih penting dan mendesak adalah merancang instrumen fiskal guna mendorong ekspor.
Berbagai upaya untuk mendorong ekspor melalui kebijakan yang tersegmentasi dengan target industri yang jelas patut diupayakan dalam jangka pendek ini. Dalam jangka menengah, tentu sinkronisasi dan integrasi kebijakan industri, perizinan (investasi), hingga isu logistik harus terkonsolidasi dengan baik. Paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan pemerintah perlu dipilih lebih detail untuk fokus pada pengembangan industri berbahan baku domestik serta berorientasi ekspor.
Merujuk pada situasi 2014, saat terjadi “Jokowi effect”, tahun ini nampaknya tak bisa lagi berharap pada sentimen. Persoalan, baik pada level global maupun domestik sudah berubah menjadi fundamen, sehingga perbaikan konkret harus diupayakan. Jika pelambatan pertumbuhan perekonomian domestik tak bisa dihindari, maka kebijakan fiskal juga sebaiknya lebih ekspansif (counter cycle), jangan terlalu konservatif menjaga defisit di bawah 2 persen seperti ditargetkan pada 2019.