Rentetan Gempa di Indonesia Terjadi karena Aktivitas Tektonik
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah gempa dan tsunami berkekuatan magnitudo 7,4 di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018), rentetan gempa kembali terjadi. Rentetan gempa tersebut terjadi karena aktivitas tektonik akibat pergeseran lempeng.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hingga Selasa (2/10/2018), telah terjadi 20 kali gempa dengan kekuatan di atas M 5,0. Terakhir, gempa berkekuatan M 6,3 mengguncang Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa (2/10/2018) pukul 07.16 WIB dengan kedalaman 10 kilometer.
Posko Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan, gempa terasa kuat selama 3 hingga 5 detik. Akibatnya, masyarakat menjadi panik dan keluar dari rumah.
Nova Heryandoko dari Bagian Operasional Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG menjelaskan, rentetan gempa akan terus terjadi karena lempeng bumi tidak diam.
”Lempeng bumi akan terus bergerak dan ada saatnya terkunci. Namun, kita tidak tahu kapan waktu lempeng tersebut lepas,” kata Nova saat ditemui di kantor BMKG Jakarta, Selasa.
Ia menambahkan, ketidakpastian waktu lempeng bumi terlepas membuat waktu terjadinya gempa sulit diprediksi. Indonesia rawan gempa karena banyak pertemuan lempeng. Daerah yang berpotensi terjadi gempa berada di barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa.
Terjadinya gempa di Kabupaten Sumba Timur merupakan akibat dari subduksi antara gerakan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Nova menjelaskan, di Samudra Hindia, lempeng Indo-Australia terus bergerak ke utara sehingga menumbuk lempeng Eurasia.
Tumbukan tersebut membuat kedua lempeng terkunci dan mengakibatkan akumulasi energi. Ketika keduanya tidak kuat menahan, maka akan terlepas, yang dapat mengakibatkan terjadinya gempa di zona subduksi. Getaran dari gempa tersebut terasa di daratan Pulau Sumba karena berada di dekat pantai.
”Terjadinya gempa di Sumba tidak ada hubungannya dengan gempa di Palu, Sulawesi Tengah, karena keduanya tidak pada jalur sesar yang sama,” ucap Nova. Ia memperkirakan terjadinya gempa di Palu karena pecahan di tengah lempeng Eurasia.
Selain kedua lempeng tersebut, juga terdapat lempeng Pasifik yang berada di Samudra Pasifik. Lempeng ini cenderung bergerak ke arah tenggara.
Menurut Nova, rentetan gempa yang terjadi di Palu dan Sumba merupakan aktivitas tektonik dan kemungkinan akan terjadi di tempat lain karena lempeng yang ada di bumi tidak diam. Ketika kestabilan satu lempeng terganggu, lempeng lain akan meresponsnya dengan energi yang berbeda.
Selain di Palu, daerah lain yang rawan gempa adalah Sumatera yang memiliki sesar Sumatera. Sesar tersebut membelah Pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung sehingga potensi gempa dangkal dapat terjadi.
Alat deteksi tsunami
Salah satu penyebab banyaknya korban jiwa dalam bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah adalah kurang cepatnya respons masyarakat dalam menanggapi informasi terjadinya tsunami. Nova mengatakan, BMKG telah menginformasikan kepada pemerintah daerah 5 menit sebelum terjadi gempa dan tsunami.
”Kami menghitungnya berdasarkan alat pendeteksi tide gauge yang dipasang di Mamuju Utara, Sulawesi Barat,” ujar Nova. Tide gauge dipasang di pantai untuk mengukur gelombang air laut.
Tide gauge yang dipasang di pantai dipandang Nova kurang efektif untuk memberikan informasi kepada masyarakat karena jaraknya yang dekat dengan daratan.
Menurut Nova, peringatan tsunami akan lebih efektif apabila BMKG mendapatkan sinyal dari buoy yang dipasang di tengah laut karena waktu untuk memberitahukan potensi terjadinya tsunami lebih lama.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, buoy yang ada di Indonesia hilang sejak 2012 karena adanya vandalisme. Menurut dia, banyak lampu yang dicuri dan besinya tidak utuh.
Nova membenarkan pernyataan Sutopo tersebut. Buoy dipasang di Indonesia setelah terjadi tsunami di Aceh pada 2004. Namun, sejak 2012, sinyal buoy sudah tidak terdeteksi lagi dan telah hilang.
Selain kedua alat tersebut, BMKG juga mengandalkan CCTV. Namun, tidak semua tempat memiliki CCTV, salah satunya di Palu, karena biaya operasionalnya mahal.
Nova mengatakan, alat paling efektif untuk mendeteksi tsunami ialah radar tsunami. Alat ini menggunakan satelit sehingga dapat memantau terjadinya tsunami dari kejauhan. Namun, alat ini sangat mahal jika dibeli dari luar negeri. Karena itu, Nova berharap ada ilmuwan dalam negeri yang mampu menciptakannya.