JAKARTA, KOMPAS – Kendati terjadi deflasi akibat penurunan harga bahan pangan pada September 2018, beras masih mengalami inflasi. Hal itu terjadi karena harga gabah kering panen di tingkat petani dan harga beras medium di penggilingan naik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada September 2018 terjadi deflasi sebesar 0,18 persen di kota. Defalsi juga terjadi di perdesaan, yaitu sebesar 0,59 persen. Deflasi itu terjadi karena ada penurunan harga yang ditunjukkan dari indeks kelompok bahan makanan sebesar 1,62 persen di kota dan 1,64 persen di desa.
Beberapa komoditas yang harganya turun antara lain daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, cabai merah, dan cabai rawit. Kendati begitu, beras sebagai bahan pangan utama masih mengalami inflasi sebesar 0,28 persen dan memberikan andil inflasi sebesar 0,01 persen.
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/10/2018), mengatakan, beras memang masih mengalami inflasi, namun andilnya terhadap inflasi kecil sekali. Beras mengalami inflasi karena ada kenaikan tipis harga gabah kering panen dan beras medium akibat musim kemarau.
Pada Oktober-Desember 2018, tambahan suplai beras juga belum akan optimal, karena baru memasuki musim tanam. Namun, situasi stok perbesaran saat ini berbeda dengan situasi tahun lalu.
“Tahun lalu cadangan beras Bulog sekitar 900.000 ton, sedangkan menjelang akhir tahun ini 2,4 juta ton dimana sebanyak 1,5 juta ton adalah beras impor. Dengan stok sebanyak itu, harga beras pasti akan stabil,” kata dia.
BPS mencatat, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik 2,4 persen dari Rp 5.308 per kilogram (kg) pada Agustus 2018 menjadi Rp 5.399 per kg pada September 2018. Harga beras medium di penggilingan per September 2018 sebesar Rp 9.310 per kg atau naik 1,5 persen dari Agusuts 2018.
Secara umum, tingkat inflasi Januari-September 2018 sebesar 1,94 persen dan tingkat inflasi September 2018 terhadap September 2017 sebesar 2,88 persen.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, harga GKP di tingkat petani telah jauh melebihi HPP GKP yang ditetapkan pemerintah yang sebesar Rp 3.700 per kg. Berdasarkan hasil kajian BP2TI di 26 kabupaten produsen beras, harga GKP di tingkap petani pada September 2018 sebesar Rp 4.839 per kg.
Harga GKP itu naik terus sejak Juni 2018 yang sebesar Rp 4.298 per kg. Jika harga GKP di tingkat petani naik terus, harga beras pasti akan terkerek naik.
"Kenaikan harga beras itu tidak seketika, karena dari GKP ke beras di konsumen butuh waktu 3-4 minggu. Dengan stok beras Bulog 2,4 juta ton, stok itu cukup untuk sementara ini untuk menstabilkan harga beras jika pada akhir tahun stok bisa dipertahankan 2 juta ton, kata dia.
Integrasi hulu -hilir
Sementara itu, forum diskusi dalam temu alumni Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (Kagama Pertanian) pada 24 September 2018, di Yogyakarta, merekomendasikan sejumlah poin terkait kondisi perberasan nasional. Forum tersebut dihadiri antara lain mantan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, serta Dekan Fakultas Pertanian UGM Jamhari Hadipranoto dan Dwidjono Hadidarwanto.
Jamhari mengatakan, ada masalah dalam kebijakan perberasan yang perlu diperbaiki. Salah satunya adalah tidak lagi terintegrasinya kebijakan di hulu (pengadaan untuk menjaga harga pembelian pemerintah atau HPP), tengah (menjaga stok yang cukup aman), dan hilir (penyaluran untuk masyarakat miskin dan stabilitas harga konsumen).
Hal itu terjadi pasca pemerintah mengubah kebijakan penyaluran beras sejahtera (rastra) dari bentuk natura ke bantuan sosial (bansos) nontunai. Penyaluran rastra dalam bentuk natura turun, sedangkan bansos nontunai naik.
“Hal itu menyebabkan jaminan penyaluran beras hasil pengadaan dan stok yang dikelola Bulog untuk ketahanan pangan dan stabilitas harga konsumen, menjadi semakin berkurang. Hal itu dapat melemahkan efektivitas intervensi pengamanan harga produsen di hulu atau tingkat petani dan konsumen di hilir,” kata dia.
Untuk itu, lanjut Jamhari, bansos nontunai perlu diintegrasikan dengan program ketahanan pangan yang meliputi pengamanan HPP di tingkat petani dan stok. Hal itu dapat dilakukan dengan kewajiban penyaluran bansos dalam bentuk beras.
Selain itu, satu data yang akurat sangat dibutuhkan sebagai acuan. Terkait dengan impor, pemerintah dan Bulog perlu mengacu pada tiga hal, yaitu produksi beras nasional, harga,dan stok beras. Pemerntah dan Bulog harus cermat menghitung stok beras.
“Misalnya untuk tahun ini, stok beras perlu dihitung sampai Maret 2019. Sebab, musim panen padi terjadi pada periode Maret-April dan Juli-Agustus. Kemudian hitung berapa kelebihan surplus Maret hingga Agustus. Kelebihan itu harus menutup kebutuhan September hingga Februari tahun depan,” ujarnya.
Jamhari menambahkan, pemerintah juga perlu mengevaluasi impor beras setiap saat, dengan melihat posisi kesediaan beras di Bulog. Evaluasi itu perlu mempertimbangkan sejumlah indikator, seperti memperhatikan harga pasar, ketersediaan beras di masyarakat dan Bulog, dan pengadaan Bulog lancar atau tidak.