Para menteri luar negeri ASEAN khawatir, jika dibiarkan, kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, bisa menumbuhkan terorisme yang mengancam Asia Tenggara dan sekitarnya.
SINGAPURA, SELASA Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara mendesak Myanmar memberi mandat penuh kepada komisi penyelidik yang akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang terlibat dalam kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Dalam pertemuan di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat, pekan lalu, para menteri luar negeri ASEAN menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi di Rakhine.
Menlu Singapura Vivian Balakrishnan menyampaikan hal itu dalam sidang parlemen Singapura, Selasa (2/10/2018). ”Ini bencana kemanusiaan yang dibuat orang dan seharusnya tak terjadi pada zaman ini,” kata Balakrishnan, merujuk pada pertemuan 10 menlu ASEAN, termasuk Myanmar, di New York.
”Para menteri luar negeri mendesak Pemerintah Myanmar untuk memberi mandat penuh kepada komisi independen untuk melakukan penyelidikan dan meminta semua yang terlibat untuk bertanggung jawab,” kata Balakrishnan.
Tahun ini merupakan giliran Singapura menjadi Ketua ASEAN. Bulan depan, negara itu menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang akan dihadiri para kepala negara.
Juru bicara Pemerintah Myanmar, Zaw Htay, tidak mengangkat telepon saat akan diminta komentar terkait sikap para menlu ASEAN tersebut. Bulan lalu, Htay mengatakan, ia tak lagi mau menjawab pertanyaan media via telepon. Ia hanya akan berbicara kepada media dalam konferensi pers dua mingguan.
Sejak dibentuk lebih dari setengah abad silam, ASEAN secara historis kesulitan dalam menangani tantangan-tantangan di kawasan mereka. Hal ini tak lepas dari tradisi organisasi itu yang bekerja hanya berdasarkan konsensus dan enggan terlibat dalam semua urusan yang dinilai masalah internal anggotanya.
Dalam kasus kekerasan di Rakhine, sikap ASEAN sebelumnya lebih terfokus pada pentingnya repatriasi pengungsi ke Myanmar dan rekonsiliasi masyarakat Myanmar. Namun, di tengah kecaman keras internasional terhadap Myanmar, sikap ASEAN terlihat mulai lebih tegas.
Ancaman terorisme
Balakrishnan mengatakan, jika dibiarkan ”membusuk”, situasi di Rakhine bisa melahirkan terorisme yang pada akhirnya akan mengancam Asia Tenggara dan sekitarnya. ”Mereka (Pemerintah Myanmar) benar-benar harus melakukan sesuatu yang tepat... bagi semua warga yang rentan, tak berdaya, dan tak bersalah,” kata Balakrishnan.
”Ini juga peringatan yang bermanfaat bagi kita semua di Asia Tenggara bahwa ras, bahasa, dan kepercayaan merupakan masalah langsung dan bisa selalu dieksploitasi demi mendapatkan keuntungan politik jangka pendek, pembagian beban yang tak adil, dan luka yang berlanjut bagi mereka yang tak berdaya.”
Pemerintah Myanmar pada Juli telah membentuk komisi untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi di Rakhine. Komisi itu, antara lain, terdiri dari dua anggota dari Myanmar dan dua lagi dari luar, yakni seorang dari Jepang dan seorang dari Filipina.
Repatriasi tertunda
Sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar, Agustus tahun lalu, karena kekejaman yang mereka alami atau saksikan. Saat ini, mereka berada di kamp-kamp pengungsian sementara di Bangladesh. Mereka tak tahu kapan bisa kembali ke tempat asal mereka di Rakhine.
Pemerintah Myanmar dan PBB sudah sepakat melakukan repatriasi bagi mereka. Myanmar menyatakan siap menerima kedatangan warga Rakhine, sebagaimana tertulis dalam kesepakatan Juni. Namun, Palang Merah Internasional melihat Myanmar belum siap menerima kembali warga Rohingya.
Sampai kini, proses pemulangan itu belum bisa dilakukan. Belum ada pengungsi yang mau kembali. Mereka memilih bertahan di pengungsian sementara dengan kondisi lingkungan yang sangat buruk. Para pengungsi masih diliputi rasa takut dan tak yakin dengan keselamatan mereka jika kembali ke Myanmar.
Meski turun-temurun hidup di Rakhine, warga Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan yang jelas. Sejak 1982, Pemerintah Myanmar tidak memberikan identitas kepada mereka.
Pada akhir Agustus lalu, penyidik PBB mengeluarkan laporan hasil investigasi mereka tentang kekejaman yang dilakukan militer di Myanmar. Disebutkan, militer melakukan pemerkosaan dan dengan ”sengaja melakukan genosida” di Rakhine. Diperkirakan 25.000 orang tewas akibat kekerasan di Rakhine. PBB meminta panglima militer Myanmar dan lima jenderal lain diadili di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dengan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Myanmar menyangkal laporan PBB. Mereka menyalahkan kelompok militan Rohingya sebagai ”teroris” yang menyebabkan terjadi kekejaman. (REUTERS/RET)