Persoalan antartetangga yang biasanya dianggap kecil bisa berujung serius. Deddy Octo dan Hendra Apriansyah (46) kini harus beperkara hukum karena persoalan pohon dan tembok pembatas rumah. Dua warga yang sejak 2013 tinggal di Pondok Cabe, Pamulang, Kota Tangerang Selatan, itu sama-sama sedang mencari keadilan.
Perseteruan mereka berawal pada 22 Juni 2018 saat Octo menebang pohon tabebuya (Chrysotricha) dan cemara (Casuarinaceae) di halaman rumahnya. Tiga hari kemudian, 25 Juni 2018, istri Hendra menegur Octo karena pohon miliknya terpotong.
”Saya tidak tahu karena saya sudah meminta orang lain menebang pohon saya, bukan pohon yang ada di halaman rumah tetangga saya,” ujar Octo ketika ditemui Senin (1/10/2018) malam di kediamannya.
Perselisihan itu berlanjut. Octo memutuskan membangun tembok di samping rumahnya pada 18 Juli untuk menghindari persoalan serupa. ”Saya takut daripada nanti ada masalah lagi, lebih baik saya buat tembok 1,8 meter supaya tidak terganggu,” katanya.
Langkah Octo membangun tembok berujung gugatan Rp 2,6 miliar oleh Hendra. Hendra tidak terima karena pembangunan tembok itu merugikannya. Dalam gugatannya, Hendra menyebutkan, penghuni rumah di kawasan itu tidak boleh membangun pagar karena dibangun dengan konsep kluster. Hendra menganggap Octo membangun tembok tanpa izin pengembang perumahan.
Dalam gugatan itu terungkap, perselisihan antarmereka terjadi lama sebelum kasus pemotongan pohon. Disebutkan, Octo membangun lantai dua dengan dinding yang melebihi batas rumah, yaitu mengambil dinding pembatas rumah Hendra.
Hendra merasa mengalami kerugian materiil akibat pembangunan tembok pembatas dan pembangunan lantai dua rumah Octo yang melebihi batas. Hendra juga merasa mengalami kerugian imateriil berupa kehidupan bertetangga yang tidak tenang karena masalah yang tak kunjung terselesaikan, yang nilainya diprediksi hingga mencapai Rp 2 miliar. Total kerugian yang dituntut Hendra Rp 2,6 miliar.
Penasihat hukum Hendra, Supena, mengatakan, hal yang menjadi pokok gugatan adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat. Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah tergugat dianggap tidak beretika dengan menebang pohon dan membangun tembok tanpa izin.
Hal ini berbeda dengan keterangan yang diberikan Octo bahwa surat somasi pertama sudah difasilitasi oleh ketua RT untuk diadakan pertemuan. Namun, pertemuan pertama dan kedua tidak dihadiri Hendra.
Dihubungi melalui pesan singkat, Hendra tidak bersedia berkomentar banyak. ”Allah Maha Tahu.... Nanti di pengadilan saja, ya, mbak,” jawabnya.
Allah Maha Tahu.... Nanti di pengadilan saja, ya, mbak.
Octo mengaku lelah menghadapi gugatan atas persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Penasihat hukum Octo, Abdul Hamim Jauzie dari LBH Keadilan, pun menggalang gerakan pengumpulan koin untuk memenuhi tuntutan ganti rugi Rp 2,6 miliar kepada kliennya.
Persidangan mulai digelar di Pengadilan Negeri Tangerang pada Kamis (27/9/2018), tetapi tidak dihadiri masing-masing pihak. Persidangan akan kembali digelar pada Kamis (4/10/2018).
Menyimak masalah Octo dan Hendra mengingatkan pada masalah serupa seperti terjadi di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang menjadi perhatian publik pada November 2015. Salah satu warga kala itu membeli dan membangun rumah tepat berbatasan dengan sebuah perumahan. Ia lantas mengalihkan bagian depan rumahnya menghadap ke perumahan. Warga perumahan menolak dan membangun dinding pembatas.
Hidup bertetangga memang gampang-gampang susah. Soal memarkir mobil saja bisa jadi problem serius dan pangkal pertikaian. Padahal, tetangga adalah orang terdekat ketika kita berada di rumah, selain keluarga tentunya.