Harian ”Kompas” melaksanakan diskusi panel ekonomi pada 14 September 2018 bertajuk ”Menahan Laju Pelemahan Nilai Tukar Rupiah”. Sebagai panelis A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta; Enrico Tanuwidjaja, Chief Economist Bank UOB Indonesia; Faisal Basri, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia; Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia; dan Nanang Hendarsyah, Direktur Pengelolaan Moneter Bank Indonesia. Hasil diskusi dilaporkan Ninuk M Pambudy, Dewi Indriastuti, Andreas Maryoto, dan Hendriyo Widi berikut ini serta di hal 21 dan 22.
Pemerintah sudah melakukan sejumlah langkah untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Inflasi terjaga pada kisaran 3 persen. Bank Indonesia terus menaikkan suku bunga acuan untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) selain menawarkan fasilitas lindung nilai bagi eksportir yang menukar valasnya ke rupiah ke dalam sistem perbankan Indonesia.
Pemerintah menaikkan tarif Pajak Penghasilan Impor Pasal 22 untuk 1.147 komoditas. Pertumbuhan ekonomi dijaga tetap di atas 5 persen, defisit belanja pemerintah dijaga di bawah 2 persen, dan mengurangi pinjaman dalam valas.
Di tengah upaya itu, dollar AS tetap menguat. Nilai tukar rupiah terhadap dollar pada Selasa (2/10/2018), menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), melemah ke Rp 14.988. Sementara menurut Bloomberg, Rp 15.049.
Tekanan dari luar memang sangat besar. Selain faktor kenaikan suku bunga The Fed, ada faktor perang dagang AS dan China serta ketegangan geopolitik antara AS dan Iran yang bisa memengaruhi harga minyak bumi.
Krisis keuangan di Argentina dan Turki memengaruhi persepsi pasar uang terhadap kondisi negara dengan ekonomi bertumbuh (emerging markets).
Investor pasar keuangan melihat Indonesia berada di dalam ”lima negara rapuh” (The Fragile 5) meski fundamental Indonesia lebih baik daripada empat negara lain, yaitu Argentina, Turki, India, dan Afrika Selatan.
Hingga tahun depan, ketidakpastian global masih terjadi. The Fed akan menaikkan lagi suku bunga sebagai upaya meredam mesin ekonomi dalam negerinya yang tumbuh tinggi akibat pemotongan pajak penghasilan. Sikap AS terhadap mitra dagangnya tidak akan berubah selama Donald Trump masih menjadi presiden sampai 2020.
Peluang Indonesia
Di dalam negeri, pada 2019 akan berlangsung pemilihan presiden. Meskipun dua calon presiden sudah menyatakan pilpres damai, sebagian kalangan usaha tetap menunggu sebelum melakukan aksi korporasi penting.
Dari sisi makro ekonomi, Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan karena kebutuhan valas lebih besar ketimbang pasokan. Hingga triwulan II, besarnya 3,04 persen produk domestik bruto.
Situasi yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan tahun 1998. Saat itu utang luar negeri sangat besar dan berjangka pendek sehingga menyebabkan gagal bayar. Saat ini masalah ada pada likuiditas (ketersediaan valas), sedangkan kemampuan membayar pinjaman tetap terjaga.
Indonesia saat ini mengalami situasi yang lebih mirip tahun 2013. Ketika itu The Fed mengumumkan akan melakukan kebijakan normalisasi dengan menghentikan penggelontoran uang ke pasar dan menaikkan suku bunga. Saat itu Indonesia mengalami gejolak nilai tukar.
Sebagian ekonom melihat yang terjadi pada emerging markets sebagai siklus berulang. Bedanya, kini kebijakan The Fed itu sudah dilaksanakan. Dalam situasi ini, pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah instrumen untuk membalik siklus itu dengan langkah jangka pendek.
Salah satunya dengan ekspansi fiskal sebagai pendorong pertumbuhan yang cenderung melemah. Tantangannya adalah memberi stimulus secara tepat.
Stimulus pada infrastruktur dan industri berdampak pada kenaikan impor barang modal dan bahan baku.
Karena itu, stimulus dapat diberikan pada konsumsi domestik, yaitu meningkatkan kualitas kelas menengah-bawah melalui penciptaan lapangan kerja. Namun, tampaknya pemerintah menghindari hal ini menjelang Pemilu 2019 sehingga defisit anggaran belanja dijaga di bawah 2 persen.
Peluang lain adalah meningkatkan ekspor produk Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Salah satunya minyak sawit.
Tantangannya adalah mitra dagang Indonesia, seperti India, mengalami defisit perdagangan sehingga menaikkan tarif impor dari Indonesia. Cukup menurunkan sementara bea ekspor sawit Indonesia akan meningkatkan ekspor hasil olahan minyak sawit ke India.
Pemerintah juga dapat mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk asing yang melaksanakan proyek di Indonesia. Selain itu, meyakinkan investor asing untuk langsung menginvestasikan kembali keuntungannya di Indonesia melalui insentif yang menarik. Ke depan, investasi langsung diprioritaskan untuk yang berorientasi ekspor.
Dalam jangka menengah dan panjang, pendalaman sektor keuangan menjadi keharusan. Masyarakat perlu terus diyakinkan menabung melalui asuransi dan dana pensiun dan dana itu dapat dimanfaatkan untuk pembangunan jangka panjang.
Indonesia juga harus membangun industri dasar, seperti logam dan petrokimia. Tanpa memiliki industri dasar yang kuat, nilai tukar akan terus terombang-ambing.