Pengusaha Diminta Kurangi Ketergantungan pada Dollar AS
Oleh
FERRY SANTOSO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Asosiasi Pengusaha Indonesia meminta pelaku usaha dan perbankan mengurangi ketergantungan pada mata uang dollar AS dengan menggunakan mata uang negara mitra dagang dalam ekspor impor. Ketergantungan pada dollar AS membuat mata uang rupiah lebih rentan terhadap gejolak mata uang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyampaikan pendapat itu di Jakarta, Selasa (2/10/2018). "Dari total perdagangan Indonesia dengan dunia, perdagangan dengan Amerika Serikat itu tidak besar, mengapa kita harus tergantung pada dollar AS," kata Hariyadi.
Dari data yang ada, total perdagangan Indonesia di dunia sebesar 344 miliar dollar AS tahun 2017. Nilai perdagangan Indonesia dengan AS sebesar 28,27 miliar dollar AS, terdiri dari ekspor sebesar 20,21 miliar dollar AS dan impor sebesar 8,06 miliar dollar AS.
Nilai perdagangan Indonesia dengan AS itu lebih rendah dibandingkan nilai perdagangan Indonesia dengan China yang mencapai 64,33 miliar dollar AS, Jepang 35,23 miliar dollar AS, Uni Eropa 31,44 miliar dollar AS, serta Singapura 28,28 miliar dollar AS.
Menurut Hariyadi, dalam ekspor dan impor dengan China, pelaku usaha sebaiknya menggunakan mata uang renminbi. "Perdagangan dengan Singapura sudah hampir sama dengan AS. Kita seharusnya cukup menggunakan dollar Singapura," katanya.
Oleh karena itu, perlu komitmen dan kemauan dari pelaku usaha, pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perbankan untuk menggunakan mata uang negara mitra dagang dalam kegiatan ekspor impor.
Tanpa upaya mengurangi ketergantungan pada mata uang dollar AS, lanjut Hariyadi, berbagai instrumen untuk menjaga stabilitas rupiah seperti dengan menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia maupun menaikkan pajak penghasilan (PPh) impor, kurang optimal khususnya dalam jangka panjang.
Defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan juga dipicu oleh impor minyak. Oleh karena itu, produksi minyak harus terus ditingkatkan dengan melakukan eksplorasi. Eksplorasi minyak, tidak hanya perlu dilakukan oleh PT Pertamina, melainkan juga perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di industri minyak dan gas bumi. "Masalahnya, tak banyak perusahaan-perusahaan minyak yang melakukan eksplorasi," kata Hariyadi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan, jika perdagangan dengan China dilakukan dengan mata uang renminbi, hal itu bagus dilakukan. Hal itu sangat tergantung pada kesepakatan antara eksportir dan importir dari kedua negara.
"Kita ingin menggunakan mata uang remimbi," kata Ade. Namun, jika dilakukan, hal itu perlu didorong dan disosialisasikan kepada para pelaku usaha, perbankan, dan instansi teknis, seperti Bea dan Cukai. Perbankan harus bisa membuka rekening dalam mata uang renminbi.
Selain itu, lanjut Ade, aparat pajak atau Bea dan Cukai juga perlu menetapkan kurs pajak dalam mata uang remimbi dalam perhitungan pajak impor. Ia menambahkan, penggunaan mata uang remimbi dalam ekspor impor dapat dilakukan dalam transaksi ekspor dan impor untuk produk-produk konsumsi. Penggunaan mata uang regional memang penting untuk menjaga stabilitas kawasan atau regional. (