JAKARTA, KOMPAS — Dibandingkan komoditas perkebunan lainnya, realisasi penyaluran benih kakao dari pemerintah pusat masih di bawah 50 persen. Lambatnya penyaluran ini dinilai turut disebabkan oleh ketidakteraturan dalam tata distribusi di tingkat pemerintah daerah.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, realisasi penyaluran benih kakao hingga 1 Oktober 2018 baru 41,3 persen. Padahal, rata-rata realisasi delapan komoditas perkebunan lain telah mencapai 95,24 persen.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia Arief Zamroni, berdasarkan evaluasinya, lambatnya penyaluran benih disebabkan oleh tata distribusi di pemerintah daerah. Tata distribusi itu tampak dari sasaran penyaluran benih, waktu pemberian benih kepada petani, dan koordinasi dengan petani terkait persiapan pemberian benih.
Arief mengatakan, sejumlah petani kakao yang menjadi target penyaluran benih semestinya bukan target sasaran. Penyaluran yang kurang tepat sasaran ini terjadi pada daerah-daerah yang menerapkan sistem kuota.
Sebaliknya, ada daerah-daerah yang menerapkan sistem pengajuan dari kelompok tani. Skema ini lebih tepat sasaran ketimbang sistem kuota yang menimbulkan risiko terbengkalainya bibit.
Terlambat
Petani kakao juga mengeluhkan keterlambatan penyaluran benih yang melewati awal musim hujan. ”Sebaiknya, petani sudah mendapatkan benih pada September. Namun, biasanya benih yang disalurkan terlambat hingga November atau Desember,” ujar Arief saat dihubungi, Selasa (2/10/2018).
Keterlambatan ini diperparah dengan tidak optimalnya koordinasi antara pemerintah daerah dan petani saat penyaluran benih. Arief menuturkan, benih bantuan itu sering kali datang tanpa pemberitahuan.
Padahal, petani membutuhkan waktu minimal 2 minggu hingga 1 bulan guna mempersiapkan lubang tanam untuk benih itu. Agar pertumbuhan optimal, humus atau kompos di lubang tanam tersebut harus terserap terlebih dahulu sebelum benih ditanam.
Selain itu, petani juga membutuhkan bantuan dana operasional perawatan benih sebesar Rp 22.500 per lubang tanam setiap bulan. Arief mengatakan, dalam 1 hektar lahan, terdapat kira-kira 800 lubang tanam. Dana operasional itu kira-kira dibutuhkan selama masa tumbuh kembang tanaman kakao dalam 8 bulan pertama.
Oleh sebab itu, Arief mengharapkan, pemerintah daerah mempertegas tugas, pokok, dan fungsi dinas dalam mengurus perkebunan. Tata distribusi benih bantuan di tingkat pemerintah daerah perlu dibenahi.
Di sisi lain, petani kakao antusias dengan benih yang berasal dari pemerintah pusat. Benih itu menumbuhkan tanaman kakao yang berakar kuat sehingga lebih tahan.
Menyadari titik evaluasi distribusi benih kakao ada di pemerintah daerah, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengharapkan, ada alokasi khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pembangunan perkebunan. ”APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bersifat stimulan,” ucapnya saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Saat ini, Bambang berkomitmen akan memberikan insentif khusus dari APBN bagi pemerintah daerah yang sudah menyiapkan petani dan lahannya sebelum benih bantuan diberikan. Insentif itu berupa penggantian dana persiapan penanaman benih.
Secara keseluruhan, dana yang disiapkan untuk persiapan benih sepanjang 2018 sebesar Rp 1,28 triliun atau 78,7 persen dari total anggaran Direktorat Jenderal Perkebunan. ”Kami fokus di persiapan benih karena merupakan dasar pembangunan perkebunan,” kata Bambang.