JAKARTA, KOMPAS—Langkah inovatif diperlukan dalam mengenalkan dan membiasakan masyarakat untuk mengonsumsi sagu. Penyesuaian produk olahan dengan gaya hidup kekinian membuat sagu lebih bisa diterima masyarakat sehingga bisa membantu mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kementerian Pertanian, Endang Yuli Purwani, mengatakan, tak mudah membiasakan warga untuk mengonsumsi sagu. Masyarakat telanjur terbiasa dengan bahan pangan lain, seperti beras dan gandum (tepung terigu untuk mi).
Selama ini, sagu kebanyakan diolah menjadi makanan tradisional. Namun, itu kerap disalahartikan sebagai keterbelakangan. Banyak orang yang awalnya mengonsumsi sagu beralih ke bahan pangan lain. Pola pikir itu bisa diubah dengan inovasi dan edukasi.
”Terlalu lama sagu ditinggalkan. Agar mudah diterima masyarakat, pengolahan sagu harus disesuaikan dengan gaya hidup saat ini,” kata Endang seusai seminar teknis ”Manfaat Sagu sebagai Bahan Makanan Inovatif” yang diadakan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Upaya inovatif yang bisa dilakukan adalah mengolah pati sagu menjadi beragam produk olahan, antara lain mi, kukis, lontong, keripik, dan kerupuk. Pati sagu juga bisa diolah menjadi bahan penolong bagi adonan bakso, roti, dan wafel.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat perlu dilakukan untuk mengenalkan karakteristik produk olahan sagu. Untuk produk mi, misalnya, masyarakat diberi pemahaman bahwa mi sagu berbeda tekstur dan pengolahannya dibandingkan dengan mi terigu.
Tekstur mi sagu lebih kenyal dan lengket. Pengolahannya pun berbeda dengan mi terigu. ”Kebiasaan kita selama ini membanding-bandingkan. Nah, bagaimana kita memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menerima karakter produk olahan sagu,” ujarnya.
Kebiasaan kita selama ini membanding-bandingkan. Nah, bagaimana kita memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menerima karakter produk olahan sagu.
Menurut Direktur PT Embrio Biotekindo Wida Winarno, pati sagu sebenarnya bisa menjadi alternatif dalam pemenuhan asupan tubuh. Energi dan karbohidrat yang terkandung dalam sagu hampir sama dengan beras meski protein pada sagu minim. Energi dan karbohidrat dalam pati sagu 353 kalori dan 84,7 persen, sedangkan pada beras 360 kalori dan 78,9 persen.
”Namun, dari segi tekstur dan rasa, tak mudah mengubah kebiasaan,” kata perempuan yang juga pendiri dan koordinator Indonesian Tempe Movement itu.
Agar bisa diterima secara luas, pengenalan produk olahan sagu harus digalakkan agar warga tak gengsi mengonsumsinya. Itu dilihat dari pengalaman Wida di Indonesian Tempe Movement yang berupaya mengubah pandangan tempe makanan rendahan menjadi makanan keren.
Riset lanjutan
Untuk industri makanan, riset terkait sagu perlu dilanjutkan agar pasokannya berkelanjutan dan mutu produknya stabil. Dengan riset, produk lain dari bahan baku sagu akan ditemukan.
Sejauh ini tanaman sagu Indonesia amat potensial. Dari jumlah total tumbuhan sagu di dunia, 51 persen ada di Indonesia dan 96 persen di antaranya ada di Papua Barat. Dari angka itu, baru 1 persen yang dimanfaatkan. ”Ini kesempatan besar kita mengeksplorasi sagu,” kata Wida.
Sementara itu, untuk industri makanan, penelitian lebih lanjut terhadap sagu perlu terus dilakukan agar pasokannya bisa berkelanjutan dan kualitas produknya stabil. Dengan penelitian, akan ditemukan pula produk-produk lainnya yang bisa dibuat dari bahan baku sagu.
Endang menambahkan, potensi tersebut harus dimanfaatkan dengan baik. Selain membantu perekonomian masyarakat, pemanfaatan sagu juga membantu melestarikan tumbuhan tersebut. Menurut Endang, jika sagu dimanfaatkan, akan ada kebutuhan untuk melestarikannya.
Pemanfaatan sagu juga menghindari ketergantungan masyarakat terhadap bahan pangan tertentu. Dengan semakin banyaknya alternatif sumber makanan, ketahanan pangan akan lebih terjamin. (YOLA SASTRA)