Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan
Mereka berjuang tidak sekadar untuk merebut medali, meraih prestasi, ataupun memenuhi ambisi. Tim ”Merah Putih” yang tampil pada Asian Para Games, 6-13 Oktober 2018, berusaha menjadi yang tercepat dan terkuat di arena sebagai bagian dari perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan.
Asian Para Games digelar di Jakarta, 6-13 Oktober 2018. Sebanyak 2.762 atlet, ditambah pelatih, asisten pelatih, dan tim ofisial, dari 43 negara se-Asia berpartisipasi dalam ajang ini. Tim ”Merah Putih” mengirimkan 295 atlet untuk bersaing pada 18 cabang olahraga. Asian Para Games akan memainkan 512 nomor pertandingan dengan medali dan 16 nomor tanpa medali.
Salah satu atlet yang tampil adalah atlet balap kursi roda Jaenal Aripin. Sama seperti sejumlah atlet lain yang mulanya hidup normal, Jaenal Aripin sempat terpuruk setelah dua kakinya diamputasi karena kecelakaan sepeda motor. Peristiwa naas itu terjadi 12 tahun lalu. Butuh waktu yang cukup panjang bagi mantan karyawan pabrik itu untuk memulihkan semangat dan kepercayaan diri.
Jaenal mengatakan, setelah mengalami kecelakaan, banyak orang memandang sebelah mata. ”Banyak yang meremehkan, apa jadinya hidup saya. Dari situ saya berusaha bangkit, berusaha membuktikan bahwa dengan keterbatasan ini, saya masih bisa bekerja,” ujarnya.
Setelah mencoba peruntungan dengan berjualan pulsa dan membuka bengkel sepeda motor, Jaenal menggeluti atletik. Olahraga yang digeluti sejak 2014 itu mengantarkan Jaenal sebagai salah satu atlet difabel andalan Indonesia. Jaenal kini menempati peringkat 10 besar dunia untuk kategori T54 nomor lomba 100 dan 200 meter. Baru-baru ini Jaenal meraih medali emas Kejuaraan Dunia 2018.
Menurut Jaenal, perhatian pemerintah terhadap kaum disabilitas sudah lebih baik daripada beberapa tahun lalu. Atlet-atlet berprestasi di Asian Para Games, misalnya, mendapatkan bonus yang sama dengan mereka yang menorehkan sejarah di Asian Games. ”Namun, harus konsisten. Jangan sampai kalau terjadi pergantian pemerintahan, kebijakan-kebijakan seperti ini tak berlanjut,” katanya.
Perenang kaki satu Jendi Pangabean juga merasakan pahitnya kehidupan setelah kehilangan satu kakinya akibat kecelakaan sepeda motor. Jendi yang awalnya aktif bermain sepak bola, bulu tangkis, dan berenang itu mengalami kecelakaan saat berusia 11 tahun.
Hidup pantang menyerah dan didukung dengan kesempatan menggeluti olahraga renang membawa Jendi menjadi andalan tim ”Merah Putih”. Pada ASEAN Para Games 2017, Jendi memperoleh lima emas dengan empat rekor baru. Setelah menjadi atlet, Jendi memandang banyak perubahan terjadi di hidupnya.
”Dulu saya bukan siapa-siapa. Saya lahir dari keluarga sederhana. Orangtua saya hanyalah buruh karet. Sekarang, perekonomian lebih baik. Saya bisa mandiri dan membiayai kehidupan orangtua dan adik-adik,” kata atlet asal Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, ini.
Perubahan lain yang dirasakan adalah Jendi merasa lebih percaya diri. ”Ke mana pun saya pergi, saya merasa percaya diri. Orang memandangi, saya tidak peduli. Apa yang sudah saya lalui ini tidak mudah. Saya pernah berada pada titik terbawah, tetapi sekarang semua berubah,” katanya.
Atlet lompat jauh Setyo Budi Hartanto (T47) mengatakan, kaum disabilitas mengalami kendala hampir pada setiap lini kehidupan. Orang-orang non-disabilitas juga kerap meremehkan mereka yang berkebutuhan khusus. ”Kami sering dianggap pengemis. Mau membeli kendaraan tidak dilayani. Dalam pendidikan sering diasingkan, dipisahkan, dan dikelompokkan berbeda,” ujarnya.
Menurut Setyo, masyarakat harus mempunyai perspektif baru dalam memandang isu disabilitas. ”Masyarakat seharusnya tidak fokus melihat kekurangan seseorang, tetapi lebih memperhatikan semangat untuk maju dan berkembang, harus lihat apa kelebihannya,” ujarnya.
Pelari dengan tangan satu Nanda Mei Solihah (19) menuturkan, hidup sebagai penyandang disabilitas tidak mudah. Dirinya sering dipandang sebelah mata, diremehkan, dijauhi, bahkan mendapat penolakan dari masyarakat. ”Ketika saya TK, beberapa sekolah menolak saya bergabung karena saya memiliki keterbatasan fisik. Ketika itu, ibu menggendong saya pulang sambil menangis karena tidak kuat menerima penolakan,” ujarnya.
Tidak hanya ditolak masuk sekolah, Nanda juga pernah dianjurkan masuk sekolah luar biasa (SLB) karena dianggap mengalami retardasi mental. ”Nenek saya langsung marah-marah. Saya memang mempunyai keterbatasan fisik, tetapi bukan berarti keterbatasan mental,” katanya.
Hidup dalam keterbatasan fisik sejak lahir sempat membuat Nanda merasa minder. Tetapi, dia menolak untuk menyerah. Ketika duduk di bangku kelas V SD, Ketua Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Kota Kediri Karmani mengajak Nanda berlatih atletik. ”Nanda, kamu mau ikut olahraga atletik tidak? Nanti kamu bisa naik pesawat ke luar negeri,” ujar Nanda, mengulang kata-lata Karmani.
Nanda sempat ragu. Dia teringat ayahnya, Suprianto (45), yang merupakan pedagang kelapa di pasar. Keterbatasan ekonomi membuat Nanda tak pernah membayangkan dapat merasakan perjalanan ke luar negeri. Namun, atas dorongan ibunya, Rini Suwarni (37), Nanda bersedia berlatih atletik. ”Kata ibu, mungkin saja ini memang rezeki saya,” ujar Nanda.
Setelah dua bulan berlatih atletik, untuk pertama kalinya Nanda tampil pada kejuaraan Piala Wali Kota di Surabaya. Dalam penampilan perdananya, dia membawa pulang medali emas.
Seiring penampilannya yang semakin baik, Nanda mewujudkan cita-cita bersaing di level internasional. Dia menjalani debut pada ajang ASEAN Para Games Singapura 2015. Ketika itu, Nanda membawa pulang tiga medali emas pada nomor lari 100 meter, 200 meter, dan lompat jauh. Dua tahun kemudian di Malaysia, Nanda mengulang kesuksesan meraih tiga medali emas.
Bagi lulusan SMA Negeri 7 Kediri itu, prestasi di bidang olahraga telah meningkatkan rasa percaya dirinya. Dia juga mendapat kesempatan bergabung dengan pelatnas dan mengantongi bonus.
Di Asian Para Games 2018, Nanda didaftarkan turun pada kategori lomba T47 (keterbatasan anggota tubuh bagian atas). Pada ajang uji coba, Nanda berhasil meraih medali emas lari 200 meter setelah menorehkan catatan waktu 28,25 detik. Dia berlari lebih cepat dari sesama atlet pelatnas Wahyu Nur Saputri.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional 2011, jumlah keseluruhan penduduk Indonesia adalah 237.641.326 orang dengan jumlah penduduk usia kerja 171.755.077 orang. Sejalan dengan penghitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 10 persen dari penduduk Indonesia (24 juta orang) adalah penyandang disabilitas (dikutip dari ilo.org).
Kepala Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof Dr Soeharso, Bambang Sugeng, mengatakan, orang dengan kebutuhan khusus sering dianggap sebagai sumber aib, dikucilkan dalam pergaulan, dan permasalahan lainnya akibat kurangnya pemahaman masyarakat dan pemerintah dalam memandang isu disabilitas.
Perjuangan untuk kesetaraan juga dilakukan, antara lain, pebulu tangkis Ukun Rukaendi (48), Harry Susanto (48), dan Leani Ratri Oktila (27). Mereka berjuang mengatasi hambatan diri demi menunjukkan bahwa mereka ada, mereka bisa.
Ukun menuturkan, dirinya termotivasi untuk menjadi atlet karena ingin mendapatkan kesempatan berprestasi yang sama dengan orang lain. ”Meskipun kami mempunyai keterbatasan fisik, kami ingin turut serta mengharumkan nama negara,” ujar mantan guru di Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu.
Berdasarkan Undang-Undang Disabilitas, kementerian, lembaga, pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak untuk kaum difabel. Namun, kenyataannya hal itu masih belum bisa terlaksana secara optimal. Aksesibilitas untuk kaum difabel, misalnya, masih belum terpenuhi.
Bambang Sugeng mengatakan, orang dengan kebutuhan khusus sering dianggap sebagai sumber aib, dikucilkan dalam pergaulan, dan permasalahan lainnya akibat kurangnya pemahaman masyarakat dan pemerintah dalam memandang isu disabilitas. Selain pemahaman, diperlukan pula komitmen dalam memenuhi hak-hak kaum disabilitas yang selama ini terabaikan.
”Meski sudah ada Undang-Undang Disabilitas, dalam implementasinya memang tidak semudah itu. Pemerintah daerah mempunyai program prioritas masing-masing sehingga aksesibilitas belum terpenuhi. Itu salah satu permasalahan yang muncul,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, Indonesia diuntungkan dengan menjadi tuan rumah Asian Para Games.
”Atlet penyandang disabilitas yang tampil pada ajang Asian Para Games 2018 menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk meraih prestasi. Mereka yang berkebutuhan khusus, sebagai komponen keberagaman masyarakat, dapat berperan aktif untuk mengharumkan negara dan menunjang kemajuan bangsa. Dibutuhkan kepedulian dan kesetaraan, bukan sekadar belas kasihan, untuk mengeliminasi hambatan yang dialami kaum disabilitas,” ujarnya di Solo, Jawa Tengah, pertengahan September lalu.