Isu Hoaks Dapat Memengaruhi Pilihan ”Swing Voters”
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran berita bohong atau hoaks yang bertujuan mendapatkan dukungan elektoral dapat menciptakan citra publik yang negatif terhadap pelaku. Saat ini, diperkirakan lebih dari 10 persen dari masyarakat belum menentukan pilihannya untuk Pemilu Presiden 2019. Isu negatif seperti yang terjadi beberapa hari ini dalam kasus Ratna Sarumpaet berpotensi memengaruhi pilihan mereka.
Menurut Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting, peristiwa negatif yang melibatkan anggota tim kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ratna Sarumpaet, dapat mempersulit kubu itu dalam memperoleh dukungan dari swing voters atau pemilih yang belum memutuskan pilihannya.
”Pemilih yang belum memutuskan itu dapat terpengaruh oleh isu negatif. Ke depan, akan lebih sulit bagi kubu Prabowo-Sandiaga untuk membujuk mereka,” ucap Djayadi ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (5/10/2018).
Walaupun peristiwa Ratna itu berdampak negatif kepada citra mereka, elektabilitas kubu Prabowo-Sandiaga dari pendukung kuat diperkirakan Djayadi tidak akan menurun. Berdasarkan pengamatannya, kubu Prabowo-Sandiaga kini memiliki jumlah pendukung cukup kuat, 25-30 persen.
”Pendukung kuat itu sudah memutuskan pilihannya. Sulit untuk mengubah pilihan mereka akibat isu hoaks seperti kasus Ratna ini. Namun, akan lebih sulit bagi kubu Prabowo-Sandiaga untuk meraih suara lebih banyak,” lanjut Djayadi.
Ari Nurcahyo, Direktur Eksekutif Para Syndicate, mengatakan, kasus Ratna ini menjadi peringatan bahwa semua kalangan, hingga kaum elite pun, rentan terpengaruh dan bisa ikut menyebarkan konten hoaks.
”Capres dan cawapres pun terlibat. Diperlukan gerakan dari masyarakat sipil nonpartisan yang bisa menggarap ruang tengah dan mengawasi pemilu ini. Jumlah pemilih generasi milenial sekitar 40 persen. Harapannya, mereka dapat menciptakan gerakan ini,” ujar Ari.
Djayadi menambahkan, peserta Pemilu 2019 sebaiknya berhati-hati dengan informasi yang diterima dan tidak langsung menggunakannya demi keuntungannya.
”Informasi itu perlu dipastikan kebenarannya. Lebih baik bermain bersih dan menggunakan isu yang kredibel. Tidak usah main-main dengan hoaks atau kampanye hitam. Di era yang terbuka seperti sekarang, setiap orang punya akses terhadap informasi dan bisa mengawal,” tuturnya.
Kasus Ratna itu diawali dengan kabar yang tersebar di media sosial mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga mukanya bengkak. Kejadian tersebut dibenarkan oleh sejumlah tokoh politik pendukung kubu Prabowo-Sandiaga.
Setelah polisi mempertanyakan kebenaran cerita itu, Ratna menggelar jumpa pers pada Rabu (3/10/2018) dan mengaku bahwa cerita penganiayaan terhadap dirinya itu bohong.
Kamis (4/10/2018), Ratna ditangkap polisi di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak terbang ke Chile. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan terancam dengan hukuman 10 tahun penjara, sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Pasal 28 dan 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran berita bohong dan menyesatkan.