JAKARTA, KOMPAS – Konflik kepemilikan tanah antara masyarakat adat dan pemerintah masih menjadi masalah di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan pariwisata di sana layak dikaji ulang. Perencanaan pariwisata harus memerhatikan penyelesaian konflik agraria agar dapat menyejahterakan masyarakat.
Pemerintah berencana menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor penghasil devisa negara. Selama ini, sektor sumber daya alam seperti batu bara dan kelapa sawit menjadi penghasil devisa andalan. Pemerintah menargetkan ada 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019. Target perolehan devisanya adalah 20 miliar dollar AS. Ada sepuluh destinasi wisata prioritas yang dicanangkan pemerintah, salah satunya Danau Toba.
Menurut Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Suryati Simanjuntak, mayoritas masyarakat kawasan Danau Toba mengkhawatirkan pembangunan pariwisata. Kekhawatiran itu didasarkan pada kepemilikan tanah dan hutan. Hal itu disampaian berdasarkan riset yang dilakukan di sejumlah kabupaten di kawasan Danau Toba.
“Pemerintah mengklaim bahwa hampir semua tanah di sana adalah milik negara. Tapi, masyarakat adat mengklaim bahwa hutan sudah dimiliki dan diusahakan oleh para leluhur sejak ratusan tahun lalu,” kata Suryati dalam seminar sehari tentang pembangunan pariwisata Danau Toba, di Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Ia mengatakan, arti kepemilikan tanah sangat penting bagi masyarakat adat. Itu karena kepemilikan tanah berhubungan dengan asal-usul dan identitas mereka. Selain itu, masyarakat juga khawatir akan invasi budaya luar dengan dibukanya sektor pariwisata. Menurutnya, sosialisasi dari pemerintah belum efektif.
Sejumlah masyarakat kawasan Danau Toba juga terancam kehilangan mata pencahariannya sebagai petani. Itu karena ada potensi perubahan fungsi lahan dengan pembangunan pariwisata.
Kawasan Danau Toba ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya. Tujuannya adalah melestarikan Kawasan Danau Toba dari aspek ekosistem, sumber daya air, dan kawasan kampung masyarakat adat Batak.
“Mari belajar mendengar dan memahami kebutuhan masyarakat. Kami harap pembangunan pariwisata bisa menyejahterakan masyarakat. Semoga bukan memperparah masalah yang sudah ada, seperti konflik agraria,” kata Suryati.
Hak tanah masyarakat adat
Kepala Subdirektorat Pemetaan Konflik pada Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Prayogo Utomo mengatakan, pemerintah akan memberikan hak tanah untuk masyarakat adat. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak.
Menurutnya, hak kelola hutan hanya bisa diberikan kepada masyarakat adat. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus memberi pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat itu. Kemudian, KLHK akan memverifikasi keberadaan masyarakat adat sebelum memberi hak kelola hutan.
Konflik agraria, menurut Prayogo, dapat dilaporkan ke KLHK. Selanjutnya, KLHK akan berperan sebagai mediator bagi pihak-pihak yang berkonflik. Sejauh ini, menurutnya, mediasi adalah cara terbaik mengatasi konflik.
Berdasarkan data KLHK, ada sekitar 250 kasus konflik agraria yang tercatat sejak 2015 hingga Agustus 2018. Kepala Subdirektorat Pemetaan Konflik pada Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat KLHK Prayogo Utomo mengatakan, kebanyakan konflik terjadi di Sumatera Utara.
Salah kaprah
Rencana pembangunan pariwisata di Danau Toba menggunakan prinsip ekowisata. Namun, menurut anggota tim peneliti ekowisata Sajogyo Institute, Eko Cahyono, pengembangan pariwisata selama ini masih menggunakan prinsip wisata alam, termasuk di Danau Toba.
Ekowisata dan wisata alam memiliki prinsip berbeda. Pada prinsip ekowisata, aspek ekologi menjadi acuan pengembangan pariwisata. Sementara itu, prinsip wisata alam lebih mementingkan tujuan pariwisatanya. Menurut Eko, pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menaruh perhatian serius pada aspek ekologi dan sosial.
“Jika sektor pariwisata tidak meletakkan manusia dan ekosistem sebagai satu kesatuan, berarti itu bukan ekowisata,” kata Eko.
Ia menambahkan, ada hubungan yang kompleks antara manusia dengan tanah. Tanah mengandung aspek ekonomi, sosial, dan spiritual bagi masyarakat adat. Bila pembangunan pariwisata mengabaikan adanya konflik agraria yang terjadi, maka itu akan merugikan masyarakat adat. Menurutnya, masyarakat adat akan kehilangan kebudayaan dan peradabannya ketika mereka kehilangan tanah.