JAKARTA, KOMPAS--Indonesia membangun ketahanan ekonomi dalam dua dekade terakhir. Saat ini, ketahanan ekonomi sedang diuji tekanan ketidakpastian ekonomi global yang semakin besar.
Titik lemah atau pekerjaan rumah terbesar dalam menghadapi faktor eksternal tersebut adalah memperbaiki defisit transaksi berjalan. Sebab, persoalan defisit transaksi berjalan yang berlangsung sejak 5 tahun lalu, tidak kunjung diselesaikan.
Pada saat kondisi ekonomi global bergejolak, perekonomian Indonesia dan negara-negara dengan transaksi berjalan defisit, turut bergejolak.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran buku Realizing Indonesia’s Economic Potential yang digelar Bank Indonesia (BI) dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Jakarta, Kamis (4/10/2018). Dalam buku itu, IMF merekomendasikan lima hal bagi perekonomian RI.
Pertama, peningkatan rasio pajak secara bertahap dan hati-hati. Kedua, perlunya membuka sektor ekonomi baru bagi investor swasta serta memperbarui peran perusahaan negara dan anak perusahaan. Ketiga, mengangkat kurva imbal hasil bebas risiko yang dapat dijadikan patokan.
Keempat, memperluas basis investor domestik bagi pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan dan pembiayaan investasi, serta mengurangi ketergantungan terhadap modal asing. Kelima, memodernisasi regulasi keuangan.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis, nilai tukar Rp 15.133 per dollar AS. Di pasar tunai, rupiah diperdagangkan hingga Rp 15.191 per dollar AS. Pada periode Januari-4 Oktober 2018, rupiah terdepresiasi 11,98 persen.
Kepala Misi IMF untuk Indonesia Luis E Breuer yang menjadi editor buku itu mengatakan, Indonesia telah membuat berbagai kemajuan pembangunan politik, ekonomi, dan sosial secara signifikan dalam dua dekade terakhir. Hal itu membuat ketahanan ekonomi Indonesia semakin baik dan reselien atau lentur dalam menghadap gejolak ekonomi global.
Empat tantangan eksternal yang tengah dihadapi saat ini adalah kenaikan harga minyak dunia, perang dagang, kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, dan dollar AS yang menguat. Hal itu menyebabkan Indonesia, termasuk negara-negara berkembang lain, bergejolak.
“Defisit transaksi berjalan Indonesia masih menjadi persoalan karena banyak dana asing yang keluar. Untuk itu, Indonesia perlu memperbaiki kinerja transaksi berjalan agar tidak defisit, antara lain melalui reformasi struktural, pendalaman pasar keuangan, dan meningkatkan peran investor domestik dalam pembiayaan ekonomi,” kata dia.
Bertahap
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, kebijakan reformasi dilakukan Indonesia secara bertahap. Namun, pekerjaan rumah terbesar saat ini adalah mengatasi defisit transaksi berjalan.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang bergejolak sejak 2013 tidak dapat dilepaskan dari defisit transaksi berjalan yang tak kunjung diatasi. Sampai dengan triwulan II-2018, defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 8 miliar dollar AS atau 3,04 persen produk domestik bruto (PDB).
“Hingga akhir tahun nanti, defisit transaksi berjalan diprediksi 25 miliar dollar AS. Sebab, dana asing yang keluar masih lebih besar ketimbang dana asing yang masuk,” ujarnya.
Mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede mengatakan, masalah defisit transaksi berjalan perlu diselesaikan. Langkah yang bisa dilakukan antara lain mengevaluasi proyek pembangunan pemerintah dan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi.
Sementara itu, dalam acara di Unika Atma Jaya, Jakarta, yang dihadiri Luis E Breuer, perpajakan -sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang bisa didorong- mesti direformasi.
Menurut Rektor Unika Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, reformasi pajak bisa diterapkan dengan cara memperluas basis sasaran yang kena pajak. (HEN/JUD)