Manfaatkan Pengetahuan Tradisional untuk Mitigasi Bencana
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemahaman modernitas yang keliru mengakibatkan masyarakat Indonesia melupakan berbagai pengetahuan tradisional yang diwarisi secara turun-temurun dengan alasan ketinggalan zaman. Padahal, pengetahuan tersebut mengandung berbagai informasi yang kontekstual dengan permasalahan sehari-hari masyarakat Nusantara. Termasuk dalam menghadapi bencana alam.
Hal ini karena modernitas kerap dianggap datang dari kebudayaan Barat, sehingga hal-hal yang bersifat ketimuran dianggap kolot, bahkan primitif. “Padahal, arti modernitas adalah apabila sebuah pengetahuan kontekstual terhadap permasalahan yang ada di dalam suatu masyarakat dengan kekhasannya masing-masing. Pengetahuan tersebut kemudian dikembangkan dengan metode yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Pande Made Kutanegara ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (4/10/2018).
Ia mencontohkan, masyarakat setiap daerah memiliki pengetahuan yang mereka warisi dari nenek moyang tentang bencana alam. Akan tetapi, sikap yang mudah melupakan masa lalu dan tidak menganggap sejarah sebagai aspek penting kehidupan mengakibatkan pengetahuan tersebut tidak pernah dibahas.
Di Palu, Sulawesi Tengah sebenarnya ada istilah nalodo yang berarti ambles dihisap lumpur yang menunjukkan bahwa fenomena likuifaksi yang terjadi pasca gempa berkekuatan M 7,4 pernah terjadi di masa lalu. Ada juga istilah bombatalu (gelombang memukul tiga kali) yang menunjukkan bahwa tsunami pernah terjadi di masa lalu. (Kompas, 3/10/2018). Di Aceh, cerita turun temurun tentang smong menyelamatkan masyarakat Simeulue dari tsunami 2004.
Saat ini, di negara-negara barat berkembang ilmu membaca alam yang berbasis pengetahuan masyarakat lokal. Pengetahuan ini kemudian diujicobakan secara ilmiah agar bisa ditemukan rumusan bakunya sehingga bisa menciptakan kebijakan.
Mereka juga memiliki gerakan untuk kembali ke gaya hidup yang ramah lingkungan. Padahal, pengetahuan itu sudah berkembang di dunia timur, termasuk Indonesia selama berabad-abad. Ilmu-ilmu tradisional tersebut apabila digali lebih lanjut bisa memberi pengayaan kepada ilmu modern sehingga bisa dimanfaatkan sebagai landasan mitigasi bencana.
“Peran lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, ialah membahas kembali ilmu-ilmu nenek moyang dari konteks masa kini,” kata Made yang juga Wakil Direktur Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Hal ini sesuai dengan landasan falsafah pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan tinggi yang tidak berupa menara gading pengetahuan seperti di dunia barat. Melainkan harus memberi pengabdian kepada masyarakat, seperti tri dharma perguruan tinggi.
Seperti pohon
Salah satu hal yang bisa diintervensi ilmu modern dengan memahami pengetahuan tradisional adalah falsafah masyarakat Nusantara yang menganggap hidup seperti pohon. Artinya, mereka ingin seumur hidup tumbuh dan berkembang di tempat mereka berasal. Hal ini yang membuat masyarakat selalu kembali ke tempat tinggal mereka, walaupun sudah dilanda bencana. Musibah akibat alam dianggap sebagai sebuah risiko yang harus diambil.
“Dalam hal ini, pengetahuan mengenai mitigasi bencana harus dibahas. Masyarakat Jepang memiliki keterikatan kepada tanah kelahiran seperti bangsa Indonesia. Mereka mengatasi masalah bencana alam dengan menggali pengetahuan nenek moyang tentang mitigasi bencana yang dipadu dengan teknologi modern,” kata Made. Mitigasi tidak perlu menunggu intervensi dari negara lain karena sejatinya pemerintah daerah yang memahami kondisi wilayah masing-masing.
Materi kebencanaan
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla mengatakan, kurikulum nasional sudah membahas berbagai jenis bencana dan cara mitigasinya, terutama pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Selain itu, juga ada buku panduan khusus bencana yang berjumlah 16 jilid. Satu jilid merupakan panduan bencana secara umum yang diperuntukkan bagi guru-guru. Adapun 15 jilid sisanya merupakan pembahasan mengenai lima jenis bencana yang sering terjadi di Indonesia. Buku tersebut diperuntukkan untuk tingkat SD hingga SMA sederajat.
"Konteks penyampaian informasi bencana beserta mitigasinya tergantung kepada cara guru membahasnya di kelas," tutur Awaluddin.