Mempertaruhkan Masa Depan Pasar Ikan Tradisional Jepang
Setelah selama 83 tahun menjadi pusat aneka ragam hasil laut terbaik di dunia, Pasar Tsukiji, pasar grosir ikan terbesar di dunia yang berada di Tokyo, Jepang, akhirnya harus tutup dan pindah ke lokasi yang baru di Toyosu, bekas kompleks pabrik gas. Rencana pemindahan, 11 Oktober, ini tertunda selama 17 tahun karena penolakan dari para pedagang, pekerja pasar, dan serikat buruh.
Lokasi baru di Toyosu yang bangunannya dinilai pemerintah kota lebih modern dan efisien itu dinilai masyarakat justru terkontaminasi racun, tidak nyaman, dan tidak aman. Nilai bangunan pasar baru di lahan reklamasi yang dijadikan kawasan khusus industri di Teluk Jepang itu mencapai 5 miliar dollar AS.
”Kalau tempatnya benar-benar baru, saya tidak keberatan pindah,” kata Tai Yamaguchi (75) yang keluarganya memulai bisnis ikan, Hitoku Shoten, sejak 1964.
Bersejarah
Yamaguchi yang memimpin kelompok terdiri dari 30 perempuan dengan latar belakang keluarga bisnis ikan di Tsukiji menentang pemindahan itu. Yamaguchi merasa para pedagang tidak diajak bicara terlebih dahulu.
Bahkan, pemerintah dicurigai menyembunyikan banyak hal. Para pedagang menyesalkan pemindahan itu lebih karena Pasar Tsukiji merupakan pasar bersejarah dan salah satu lokasi wisatawan dalam dan luar negeri.
Setiap hari sedikitnya 40.000 orang belanja ke Tsukiji dan disambut 500 pedagang besar yang memiliki ribuan karyawan. Selain pasar ikan, wisatawan sering mencicipi sushi dan es krim rasa teh hijau di kedai-kedai yang mengelilingi pasar.
Proses tawar-menawar ikan antara pembeli dan pedagang besar khusus untuk ikan tuna yang beku juga menjadi atraksi menarik lain. Sejak 1935, Tsukiji memasok hasil laut terbaik ke restoran-restoran mewah dan pasar swalayan di Tokyo.
Mereka yang menentang pemindahan itu khawatir wisatawan tidak akan mau datang ke Toyosu yang mirip dengan pabrik besar dan modern dan tidak indah seperti Tsukiji.
Makoto Nakazawa (54) yang bekerja di Tsukiji lebih dari 30 tahun mengaku tidak suka dengan tempat yang baru dan marah dengan penutupan pasar yang sudah menghidupi Tokyo bertahun-tahun. Tsukiji merupakan pasar yang spesial, tempat dengan keberagaman yang tidak bisa ditemui di tempat lain karena siapa pun dan apa pun latar belakang seseorang bisa datang.
”Orang yang menyuruh kita keluar mau mengembangkan lokasi ini. Tidak ada alasan lain. Pasti alasannya uang,” ujarnya.
Yang akan dipindah hanya bangunan utama pasar. Toko-toko yang lebih besar di sekitar pasar akan tetap dipertahankan. Padahal, pasar tradisional ikan itu setiap hari bisa mendapatkan 14,5 juta dollar AS.
Masalah sanitasi ini dikatakan pemerintah kota sudah ditangani. Pasar ini pernah akan dibuka pada November 2016 tetapi ditunda oleh Gubernur Tokyo Yuriko Koike setelah dari hasil pemeriksaan ditemukan arsenik atau racun dan bahan kimia lain di air tanah Toyosu.
Faktor keamanan sudah dijamin aman. Toyosu akan melanjutkan tradisi dan nama baik Tsukiji.
Kualitas bangunan dinilai tidak baik karena ada rekahan-rekahan di lantai bagian bongkar muat barang di Toyosu. Pemerintah kota mengaku itu tidak berbahaya dan akan diperbaiki segera. Untuk rencana jangka pendek, pasar seluas lebih dari 230.000 meter persegi atau ekuivalen 17 lapangan bisbol itu akan diubah menjadi lahan parkir kendaraan yang disiapkan dalam rangka Olimpiade Tokyo 2020.
Untuk jangka panjang, lokasi pasar itu akan diubah menjadi taman hiburan, kasino, dan mal. Lokasi pasar ini sangat strategis karena berada di tengah-tengah kota Tokyo dan dekat dengan distrik pertokoan Ginza.
Berkeras
Puluhan pekerja pasar yang bergabung dengan serikat buruh, ibu rumah tangga, dan lainnya turun ke jalan, Sabtu lalu, sebagai upaya terakhir menentang rencana itu.
Namun, pemerintah kota tetap berkeras pasar itu sudah waktunya pindah ke bangunan yang lebih modern dan efisien. Bagi para pekerja dan pedagang di Tsukiji, tatanan pasar Tsukiji dengan banyaknya gerobak adalah satu seni tersendiri yang berkembang selama bertahun-tahun.
Mendekati hari penutupan Tsukiji, koki Gianluca Lonati (31) dan Kayleigh Gill (25), manajer bar, berkunjung ke pasar itu. Mereka mau menyantap ikan segar Tsukiji dengan ramen, es krim teh hijau, dan panekuk gurih okonomiyaki. ”Menyedihkan. Padahal, di lokasi ini kita bisa merasakan dan melihat budaya Jepang tua,” kata Gill.
Koki bintang dua Michelin, Lionel Beccat (42), mengaku bukan keanekaragaman hasil laut yang membuatnya bernostalgia tentang Tsukiji, melainkan lebih pada para penjual ikannya. Kisah mengenai Tsukiji sebenarnya cerita sederhana mengenai hubungan antarmanusia. Beccat, koki eksekutif di Esquisse, restoran di Distrik Ginza, sudah menjelajahi segala penjuru Tsukiji selama 12 tahun.
Beccat mengaku butuh waktu beberapa tahun untuk kemudian bisa membangun hubungan saling percaya dengan para pedagang Tsukiji. ”Saya langsung menyadari bahwa saya dianggap tidak tahu apa-apa soal ikan,” kata Beccat yang sebenarnya paham dunia ikan karena berasal dari kota pelabuhan ikan Marseille, Perancis.
Di Tsukiji, para penjual ikan yang memilih konsumennya. Bukan sebaliknya. Bahkan, kata Beccat, koki-koki terkenal tingkat dunia bahkan menunjukkan rasa hormat kepada para pedagang dan pengetahuan mereka tentang ikan. Pasar grosir ikan itu tidak hanya menjadi magnet bagi konsumen lokal Jepang, tetapi juga wisatawan dari sejumlah negara karena toko-toko kecilnya yang menjual segala macam hasil laut.
”Setiap koki profesional pasti terinspirasi. Tsukiji itu dunia tersendiri. Dengan datang ke sini setiap hari secara bertahap akan mengubah cara kita memasak,” kata Beccat yang sering mendapat inspirasi setelah melihat aneka ragam hasil laut dan saran dari para pedagang.
Salah satu penjual penyuplai Beccat, Masatake Ayabe, sudah berjualan selama 30 tahun di Tsukiji dan mengaku khawatir usaha ikan akan menderita jika dipindah ke Toyosu. ”Tidak ada pasar mana pun di dunia ini yang bisa mengumpulkan begitu banyak ikan yang beragam,” kata Ayabe yang tidak mau pindah ke Toyosu.
Ayabe beralasan lokasi Toyosu jauh dari konsumen. Padahal, konsumen pembeli selama ini sudah menjalin hubungan baik dengan para penjual.
Kubu pengkritik Tsukiji menilai pasar itu sudah tidak sesuai dengan dunia modern dan mereka mempertanyakan standar kebersihan dan kesehatan di gang-gang sempit. Selain itu, dengan gang yang sempit seperti itu maka akan kesulitan jika terjadi kebakaran.
Beccat mengakui faktor sanitasi yang lebih baik menjadi poin pentingnya pemindahan pasar dan para penjual ikan pun tidak akan menderita akibat panas dan dingin yang ekstrem. ”Tsukiji ini bisa membuat orang ketagihan untuk datang. Kalau tidak datang ke sana satu hari saja, rasanya ada yang kurang. Tempat itu mengajarkan banyak hal dalam hidup saya,” ujarnya. (REUTERS/AFP)