JAKARTA, KOMPAS—Kemitraan mengenalkan hasil studi mendalam paradigma pembangunan di Indonesia. Hasil kajian itu meminta pemerintah menjalankan konsep Satu Indonesia agar pembangunan berwawasan berkelanjutan, berkeadilan, dan mandiri.
Hal itu bertujuan meminimalkan ketimpangan pendapatan, kepemilikan lahan, dan pembangunan antardaerah. Strategi Satu Indonesia memacu pembangunan mutu sumber daya manusia dan penciptaan ”insentif pengikat” (incentive compatibility) agar tiap elemen dan daerah terjaga dalam jangka panjang.
Rimawan Pradityo, ahli ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, serta penulis utama tim riset Kemitraan, Kamis (4/10/2018), di Jakarta, menyatakan, konsep dan penamaan Satu Indonesia tak terkait salah satu calon presiden, partai politik, dan pebisnis tertentu. Itu disusun sejak 6 bulan sebelum masa pendaftaran calon presiden. Selain itu, penamaan Satu Indonesia disusun 2 bulan sebelum pengajuan calon presiden.
Konsep itu dipaparkan ke sejumlah kementerian atau lembaga. Menurut rencana, tim bertemu dua tim sukses calon presiden dan wakil presiden untuk memaparkan hasil kajian.
Mutu kelembagaan
Rimawan memaparkan, hasil analisis menunjukkan mutu aspek kelembagaan saat ini membuat Indonesia tak bisa tumbuh dan bertransformasi jadi negara maju. Strategi memperkuat itu berupa, antara lain, pengarusutamaan transparansi dan akuntabilitas, mitigasi bencana dan krisis, pembangunan mutu sumber daya manusia, dan mengakomodasi keragaman.
Ia mencontohkan keterbukaan informasi hak guna usaha, penyerapan anggaran, mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan kendali swasta atas pemerintahan.
Mekanisme APBN Indonesia yang memakai setahun anggaran dan ada perubahan APBN menunjukkan ketidakmampuan Indonesia dalam perencanaan setahun. Karena itu, perencanaan APBN didorong agar dirumuskan selama lima tahun.
”Intervensi dan bukti perubahan itu baru tampak dan terukur setelah 3-5 tahun. Kalau cuma setahun tak kelihatan,” katanya. Contoh lain, keganjilan kendali sektor swasta atas pemerintah di antaranya penetapan tarif transportasi hingga penyusunan kebijakan.
Intervensi dan bukti perubahan itu baru tampak dan terukur setelah 3-5 tahun. Kalau cuma setahun tak kelihatan.
Kebijakan pemerintah seharusnya berpihak pada kepentingan publik, tapi terdegradasi kepentingan swasta yang berorientasi laba. Komisi Pemberantasan Korupsi pun sulit menyentuh korupsi sektor swasta.
Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru menambahkan, ketimpangan pendapatan, kepemilikan lahan, dan pembangunan antardaerah terjadi meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi. ”Jadi, sebetulnya pertumbuhan ekonomi amat tinggi itu dinikmati siapa?” ungkapnya.
Contoh ketimpangan lahan ditunjukkan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelepasan areal hutan 88 persen bagi korporasi dan 12 persen untuk warga.