Sebagian Hidup Warga Terenggut karena Pencemaran
Bagi warga Bekasi, pencemaran yang terjadi di Kali Bekasi telah mengguncang kehidupan. Sebagian kesulitan mendapatkan air bersih karena sungai tersebut merupakan sumber air baku perusahaan daerah air minum. Sebagian lainnya juga terusik karena sumber penghidupan mereka terancam.
Kotoran hitam dari air Kali Bekasi rasanya masih menempel di tubuh Nain (56). Sudah setengah tahun ke belakang, penambang pasir rakyat dari Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, itu mengalami hal aneh setelah menceburkan diri untuk mengeruk pasir di sungai. Sekujur tubuhnya ditempeli kotoran hitam, teksturnya licin menyerupai minyak.
”Kotoran itu sulit sekali hilang. Saya mesti mandi satu jam lebih sambil menggosok badan dengan kain,” kata Nain di pinggir Kali Bekasi, Kamis (4/10/2018). Ia yang sudah menambang sejak 1973 itu tak tahu apa yang terjadi karena baru sekali mengalaminya. Ia hanya tahu, air selalu kotor, kadang hitam, merah, kuning, dan membawa bau tak sedap. Di lain waktu, air juga berbusa.
Menurut Nain, air di sungai yang jaraknya dua kilometer dari Kabupaten Bogor itu tidak menyebabkan gatal-gatal. Hanya terasa perih saat mengenai mata. Nain yang turun ke kali hampir setiap hari tak bisa menghindarkan matanya dari air kali. ”Sudah hampir setahun, mata saya berair tidak bisa sembuh,” ujar Nain sambil mengucek matanya yang merah, terselip kotoran mata yang cukup tebal di ujung dalam kedua matanya.
Supriyatna (88), penambang pasir setempat, mengatakan, sebelumnya menceburkan diri ke sungai tidak pernah memunculkan risiko yang besar. Bahkan, pada periode 1970-1980-an ia kerap meminum langsung air di sana sambil mengeruk pasir.
Kendati kondisi air sangat memprihatinkan, kata Supriyatna alias Engkong Iyat, mereka tidak bisa meninggalkan Kali Bekasi. Tidak ada pilihan bagi mereka untuk menghidupi diri dan keluarga. Meski wilayah tersebut dikelilingi berbagai pabrik, mereka tak bisa bekerja di sana sejak dulu karena tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
Apalagi, selama musim kemarau jumlah pasir yang bisa dikeruk juga berkurang. ”Mau bagaimanapun kondisi airnya, kami tahan saja karena ini untuk mencari uang,” ujarnya.
Dalam sehari, jumlah pasir yang bisa diambil dari sungai tidak sampai satu perahu. Mereka harus mengeruk selama tiga hari untuk mengumpulkan pasir hingga bisa memenuhi ukuran standar pembelian dari toko bahan bangunan, yaitu satu bak mobil pikap. Satu bak pasir itu dihargai Rp 150.000.
Curug Parigi
Pencemaran Kali Bekasi rupanya juga mengurangi sumber pendapatan warga setempat. Iin (33), warga RT 001 RW 006, Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang, mengatakan, Kali Bekasi mulanya memberikan rezeki tambahan bagi keluarganya. Ia berjualan makanan di tepi Curug Parigi, salah satu bagian dari Kali Bekasi yang berbentuk air terjun. Sejak 1980-an, curug itu ramai dikunjungi wisatawan, bahkan kerap menjadi lokasi pengambilan gambar beberapa film populer, salah satunya Dia Sang Penakluk yang dibintangi Suzanna.
”Semasa masih berjualan, saya bisa mendapatkan uang Rp 200.000 per hari,” kata Iin, ibu rumah tangga dengan dua anak. Penghasilan itu cukup untuk membantu perekonomian keluarganya yang hanya dihidupi oleh gaji suaminya sebagai office boy.
Sayang, wisatawan beranjak pergi sejak Kali Bekasi tercemar. Pesona Curug Parigi kalah oleh bau busuk yang tidak ingin mereka hirup. Ditambah lagi, posisi curug yang dikelilingi tanah milik PT Peni Jaya Hari Baja kini tak bisa diakses siapa pun. Perusahaan itu membangun dinding setinggi dua meter di sekeliling areal tersebut. Jalan tikus yang biasa ditempuh warga pun dipasangi rantai.
Menurut Iin, di aliran sungai tersebut juga kerap ditemui ikan lele, ikan mujair, ikan nila. Warga biasa menangkap ikan dengan cara menjaring atau menyetrum dengan listrik. Akibat pencemaran, warga tidak bisa mengonsumsi ikan atau menjualnya untuk menambah pemasukan. Seekor ikan lele, misalnya, bisa dijual Rp 10.000-Rp 15.000. Ikan mujair bisa dijual Rp 20.000 per lima ekor.
Bagi Iin, Kali Bekasi memang sandaran hidup. Di samping mencari tambahan penghasilan, ia juga mencuci pakaian dan mandi di sana. ”Keluarga kami tidak mampu membangun kamar mandi,” ujarnya.
Akan tetapi, sejak air Kali Bekasi berganti-ganti warna, ia tak berani mencuci dan mandi di sana. Oleh karena itu, kedua aktivitas tersebut harus dilakukan di ruang terbuka di belakang rumahnya. Air yang digunakan pun berasal dari air tanah yang ditimba dari sumur yang dalamnya hampir 10 meter.
Kini, yang didapat dari Kali Bekasi hanyalah bau tak sedap. Aroma yang berasal dari limbah itu menyergap masuk ke seluruh ruangan di rumah Iin meski jaraknya hampir 20 meter dari sungai. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk mengurangi bau tersebut. Ia hanya bisa menyalakan kipas angin, berharap aroma busuk itu segera pergi dari rumahnya. ”Baunya itu ngeracunin orang. Kami sampai enggak bisa tidur nyenyak, enggak enak makan,” kata Iin.
Perubahan
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi, pencemaran di Kali Bekasi sudah terjadi sejak 2016 dengan kadar dominan cemar ringan. Namun, pada 2017 dan 2018, kadar dominannya meningkat menjadi cemar sedang.
Kondisi semakin buruk selama dua hingga tiga bulan terakhir. Air Kali Bekasi yang merupakan gabungan dari Kali Cileungsi dan Kali Cikeas, Kabupaten Bogor, selalu kotor, hitam pekat, berbau busuk, dan penuh busa. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi, pencemaran disebabkan oleh limbah industri dan limbah domestik. Limbah pun tidak hanya berasal dari Kota Bekasi, tetapi juga diduga sudah mengalir dari Kabupaten Bogor.
Pada 2017, Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi menyegel dua pabrik di Bantargebang yang membuang limbah tanpa diolah ke sungai. Langkah tersebut diikuti oleh Kabupaten Bogor dengan menyegel instalasi pembuangan air limbah (IPAL) empat pabrik yang bermasalah secara administratif. Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C) Puarman pun mengatakan, keempat pabrik itu membuang limbah yang belum diolah langsung ke sungai sehingga limbah terbawa ke Kali Bekasi.
Dengan penyegelan itu, pabrik tidak bisa lagi membuang limbah langsung ke sungai. Oleh karena itu, kondisi fisik air Kali Bekasi pun berangsur berubah.
”Sudah tiga hari ini air di Curug Parigi lebih bening,” kata Miskat Suparman (63), warga RT 001 RW 006, Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantargebang. Meski demikian, bau busuk masih ada di sekitarnya. Bukan berasal dari dalam air, melainkan dari sisa-sisa bangkai ribuan ikan yang mati karena air tercemar beberapa hari sebelumnya.
Oleh karena itu, aktivitas warga di sungai pun bisa kembali berjalan. Iin, misalnya, sudah mulai mencuci pakaian dan mandi di Curug Parigi. (ERIKA KURNIA)