Tantangan Menjadikan Lansia Berkualitas Besar
Jumlah penduduk usia lanjut terus meningkat. Pada 2045 satu dari lima penduduk adalah lansia. Jika mereka berkualitas, akan menjadi bonus demografi kedua bagi Indonesia.
Mulai tahun 2020, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia akan mencapai 10 persen dari jumlah penduduk. Situasi itu akan membuat struktur penduduk Indonesia menua. Persentase lansia itu akan terus naik hingga pada 100 tahun Indonesia Merdeka atau tahun 2045, 1 dari 5 penduduk adalah lansia. Jika lansia yang dimiliki berkualitas, itu akan jadi bonus demografi kedua bagi Indonesia.
Lonjakan jumlah lansia itu merupakan konsekuensi dari keberhasilan pembangunan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Buku Penduduk sebagai Modal Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas 2018, menyebut usia harapan hidup manusia Indonesia pada 1971 hanya 55,1 tahun. Pada 46 tahun kemudian atau 2017, usia harapan hidup itu naik jadi 70,8 tahun.
Meski secara nasional struktur penduduk Indonesia belum menua, struktur penduduk lima provinsi pada 2015 sudah menua. Provinsi dengan jumlah penduduk lansia lebih dari 10 persen itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (13,81 persen), Jawa Tengah (12,59 persen), Jawa Timur (12.25 persen), Bali (10,71 persen), dan Sulawesi Utara (10,42 persen).
Karena itu, pembangunan harus diarahkan untuk menyiapkan lansia yang berkualitas, sehat, dan mandiri. Namun, itu bukan perkara mudah. Lansia yang berkualitas adalah investasi yang harus dilakukan sejak mereka masih muda, bahkan sejak bayi. Anak balita yang stunting alias tumbuh lebih pendek dari tinggi seharusnya sesuai umurnya berisiko lebih besar menderita berbagai penyakit degeneratif saat tua.
Lansia yang berkualitas adalah investasi yang harus dilakukan sejak mereka masih muda, bahkan sejak bayi.
Namun, dengan tingginya kasus stunting dan gizi buruk pada anak balita selama beberapa dekade terakhir, buruknya gaya hidup saat dewasa, dan lingkungan yang penuh polusi membuat upaya menjadikan lansia mandiri, mampu berkarya, atau bisa menikmati hari tua dengan damai sulit diwujudkan.
”Ada kecenderungan lansia berkurang kemandiriannya, berkurang dalam memelihara perilaku sehatnya, dan kurang bisa tidur tenang,” kata Eunike Sri Tyas Suci, psikolog klinis di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta dalam Kongres XIII Himpunan Psikologi Indonesia di Bandung, Jumat (7/9/2018).
Situasi itu juga ditemukan dalam studi kecil yang dilakukan Tyas dan rekan terhadap 18 lansia berumur lebih dari 65 tahun di Jabodetabek. Sebagian besar responden berumur 70-79 tahun, lulusan perguruan tinggi, pasangannya sudah meninggal, dan memiliki memori yang baik.
Para lansia tersebut umumnya rajin menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Mereka juga masih melakukan sejumlah kegiatan domestik, seperti membersihkan rumah, memasak, atau mengawasi cucu. Mereka juga masih menjalankan hobinya, seperti membaca buku, merawat tanaman, bermain musik, dan berlibur di dalam ataupun luar negeri.
Sebagian lansia aktif dalam kegiatan sosial, mulai di grup WhatsApp, kerja bakti, mengurus yayasan, arisan, hingga aktif di kegiatan sosial keagamaan. Bahkan, ada lansia yang masih bekerja, mulai dari menerima pesanan desain, tukang urut, mengurus aset suami, hingga membantu menjaga toko.
Terkait perilaku kesehatan mereka, Tyas mengungkapkan, secara fisik, para lansia itu umumnya sulit tidur, mudah pusing, dan mudah lupa nama cucu. Mereka umumnya juga mengalami gangguan kesehatan terkait penurunan fungsi tubuh, seperti tekanan darah tinggi, gula darah, kolesterol, asam urat, rabun, hingga mudah jatuh atau sulit bergerak.
Secara mental, mereka umumnya mengalami kesepian, terputus dari lingkungan sosial (empty nest feeling), kurang mendapat perhatian dari keluarga, dan kekhawatiran tak ada keluarga yang tahu saat meninggal atau meninggal saat tidur.
”Gangguan tidur pada lansia sebenarnya hal yang umum terjadi. Mereka hanya mampu tidur 2-3 jam, atau suka terbangun tengah malam. Namun, hal itu akan jadi masalah jika kurangnya tidur itu menimbulkan kegelisahan atau kurang bisa menerima kondisinya yang berubah,” katanya.
Olahraga juga belum menjadi gaya hidup para responden lansia tersebut. Sebagian lansia tidak olahraga karena justru memunculkan masalah kesehatan, sedangkan yang lain masih melakukan olahraga ringan, seperti jalan santai, mondar-mandir di rumah, peregangan ringan, hingga mengisi teka-teki silang.
Pola diet lansia umumnya sangat bervariasi, mulai diet ketat karena penyakit yang dideritanya hingga tidak ada pantangan makanan. Meski demikian, lansia umumnya mengurangi makan nasi dan sesuatu yang berlemak serta lebih banyak mengonsumsi buah dan sayur. Beberapa lansia juga tetap merokok dan aktif mengecek kesehatan.
Para lansia juga masih memiliki harapan baik untuk anak, menantu, dan cucu agar sehat, akur, dan sukses. Mereka juga berharap tetap sehat sehingga tidak menyusahkan orang lain. Selain itu, mereka juga tetap berharap diberi umur panjang sehingga bisa melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa dan makin dekat dengan Tuhan hingga siap saat maut menjemput.
Kualitas lansia
Meski demikian, studi itu terlalu kecil untuk menggambarkan kondisi lansia Indonesia sesungguhnya. Lansia saat ini yang berjumlah sekitar 25 juta orang menghadapi banyak persoalan yang tidak mudah yang membuat kualitas mereka buruk dan membebani penduduk usia produktif. Situasi itu membuat keinginan meraih bonus demografi kedua akibat lonjakan jumlah lansia setelah bonus demografi pertama selesai tahun 2040, penuh tantangan untuk diwujudkan.
Lansia saat ini yang berjumlah sekitar 25 juta orang menghadapi banyak persoalan yang tidak mudah, yang membuat kualitas mereka buruk dan membebani penduduk usia produktif.
Peneliti senior Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Lilis Heri Mis Cicih, mengingatkan, untuk mewujudkan lansia yang mandiri dan tidak menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara, negara harus mempersiapkan lansia tersebut sejak mereka masih dalam kandungan (Kompas, 30 Mei 2018).
Saat ini, kehidupan hari tua umumnya baru disiapkan setelah lewat usia paruh baya atau menjelang datangnya usia pensiun. Padahal, fase lansia sebagai ujung siklus kehidupan manusia adalah buah pembangunan manusia sejak awal kehidupan.
Terlambatnya pembangunan lansia itu, salah satunya ditunjukkan oleh banyaknya lansia yang menderita berbagai jenis penyakit. Laporan Analisis Lansia di Indonesia 2017, yang dibuat Kementerian Kesehatan, menyebut 28,6 persen lansia sakit dan jumlah itu terus naik. Selain itu, 27,8 persen lansia yang sakit itu tidak berobat jalan dengan berbagai alasan.
Terlambatnya pembangunan lansia itu, salah satunya ditunjukkan oleh banyaknya lansia yang menderita berbagai jenis penyakit.
Selain penyakitan, banyak lansia yang memiliki status ekonomi buruk. Bukan hanya harus menghidupi diri, sebagian lansia bahkan harus menghidupi anggota keluarga lainnya. ”Jaminan pensiun baru dinikmati 11 persen lansia,” kata Guru Besar Gerontologi dan peneliti Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan Universitas Respati Indonesia, Tri Budi W Rahardjo.
Di sisi lain, khususnya di luar Jabodetabek, makin banyak lansia tinggal sendiri di rumah karena enggan ikut anaknya berurbanisasi. Mereka umumnya dalam pengawasan kerabat atau tetangga di dekatnya. Meski demikian, sampai kapan nilai kekerabatan itu bisa dipertahankan masih menjadi pertanyaan besar dalam pembangunan lansia ke depan.
Keberadaan infrastruktur publik yang ramah lansia hingga mendukung lansia mandiri, termasuk yang tinggal sendiri, harus dipikirkan dari sekarang. Nilai keluarga dan penghargaan atas lansia tetap harus dijaga sehingga perhatian terhadap lansia, baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitarnya, tetap terjaga.