JAKARTA, KOMPAS — Dialog berkelanjutan dapat mencegah isu SARA kembali digunakan sebagai senjata segregasi antarkelompok masyarakat. Prinsip untuk hidup harmonis sebenarnya telah menjadi identitas bangsa Indonesia kendati selama beberapa tahun terakhir kesadaran terkait hal itu sedikit meredup.
Ketua Harian Yayasan Nabil, Aan Rukmana, di sela The Wonderful Culture of Indonesia Chinese, Jakarta, Sabtu (6/10/2018), mengatakan, diskusi yang berkelanjutan dan komprehensif sangat penting untuk membangkitkan kembali kesadaran masyarakat hidup harmonis lintas kelompok dan golongan.
”Hal apa pun sekarang bisa didialogkan. Kita dapat berbicara hal yang kita setujui atau tidak secara terbuka,” kata Aan. Yayasan Nabil adalah organisasi yang bergerak di bidang pengembangan kebudayaan Indonesia.
Dalam dialog-dialog yang dilakukan, sangat penting untuk menekankan gagasan penyerbukan silang antarbudaya. Gagasan itu dicetuskan salah satu pendiri Yayasan Nabil, yakni Eddie Lembong.
Penyerbukan silang antarbudaya adalah suatu pandangan bahwa setiap unsur budaya lokal yang berkualitas dan memiliki nilai dapat digabung. Penggabungan budaya juga dapat dilakukan pada budaya unggul dari bangsa lain. Melalui cara itu, akan terbentuk budaya Indonesia yang lebih harmonis, maju, dan unggul.
Penyerbukan silang antarbudaya adalah suatu pandangan bahwa setiap unsur budaya lokal yang berkualitas dan memiliki nilai dapat digabung.
Pakar budaya dan kuliner Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia, Aji Chen Bromokusumo, menambahkan, salah satu contoh akulturasi budaya unggul yang terjadi di Indonesia adalah kecap manis. Pada awalnya, kecap asin tercipta dan kemudian terkenal di Asia Timur.
”Ketika sampai di Indonesia, masyarakat beradaptasi dengan unsur lokal sehingga mencampurnya dengan gula merah,” kata Aji. Dari situ, muncul produk kecap manis yang menjadi salah satu bahan pelengkap masakan unggulan Indonesia.
Contoh lainnya adalah batik dari Pekalongan dan Cirebon yang menggunakan motif bernuansa budaya China dan Jawa. Aji menekankan, Indonesia adalah negara yang unik karena memiliki akulturasi budaya Nusantara, China, dan Belanda.
Pasang surut
Menurut Aan, warga negara keturunan Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang memiliki hubungan ”pasang surut” dengan kelompok masyarakat mayoritas di Indonesia. ”Biasanya hubungannya tergantung dari kondisi politik Indonesia,” ucapnya.
Ketua Komunitas Kecapi Batara, Diyah Wara Restiyati, menambahkan, perbedaan etnis dan budaya sebenarnya tidak akan menjadi masalah ketika sejarah terkait etnis tersebut tetap dipelihara. Kecapi Batara adalah komunitas yang bergerak di dalam pelestarian bangunan tua Nusantara, khususnya bangunan Tionghoa.
”Masih banyak sejarah Tionghoa yang perlu digali untuk diketahui bahwa warga keturunan Tionghoa telah lama menjadi bagian dari bangsa Indonesia,” ujarnya.
Masih banyak sejarah Tionghoa yang perlu digali untuk diketahui bahwa warga keturunan Tionghoa telah lama menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Saat ini, stereotip masyarakat keturunan Tionghoa adalah berkulit putih, bermata sipit, dan cadel. Padahal, ada banyak keturunan Tionghoa yang secara fisik mirip dengan orang Indonesia.
Diyah melanjutkan, masyarakat keturunan Tionghoa telah bermukim di Nusantara pada abad ke-16, khususnya di pesisir utara pantai di Pulau Jawa. Kedatangan penduduk China bahkan lebih dahulu dari Belanda.