Hilangnya Pesawat Amfibi di Nusantara
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, tercatat ada dua jenis pesawat udara yang dapat mendarat di air, yakni Consolidated PBY Catalina dan UF-1 Grumman Albatross, yang dioperasikan Tentara Nasional Indonesia. Pesawat Catalina dan Albatross yang mampu mendarat di sungai, danau, dan perairan terbuka itu pernah dioperasikan TNI AU dan TNI AL hingga awal 1980-an.
Presiden Soekarno diketahui pernah dua kali mengunjungi Gorontalo dengan menumpang PBY Catalina yang mendarat di Danau Limboto pada 1950-an. Ada museum didirikan Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, di Kabupaten Gorontalo, dekat Danau Limboto, Gorontalo, untuk mengenang kedatangan Bung Karno yang disambut meriah masyarakat.
Lokasi pendaratan tersebut kini menjadi tempat favorit fotografer berburu gambar seperti dilaporkan Kompas.com pada 9 Maret 2016.
Pesawat amfibi tersebut umumnya tangguh dan multifungsi, mampu mendarat di air dan di darat. Baik Catalina maupun Albatross memiliki roda pendarat yang dapat dikeluarkan dari badan pesawat (fuselage) sehingga dapat juga mendarat di daratan.
Sayangnya, kini hanya tersisa monumen Grumman Albatros dan PBY Catalina di Museum Pusat TNI Angkatan Udara Dirgantara Mandala, Yogyakarta. Selebihnya, pesawat-pesawat amfibi tidak lagi beroperasi di angkasa, daratan, dan perairan Indonesia.
Memang ada perkecualian, yakni pada awal 2000-an pernah ada pesawat amfibi kecil yang beroperasi antara Marina Ancol dan Kepulauan Seribu serta pesawat amfibi Beriev 200 buatan Rusia yang dicarter untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Keberadaan Beriev 200 juga pernah digunakan dalam misi SAR jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 yang hilang di perairan dekat Kalimantan Tengah, Desember 2014. Kompas pernah menumpang Beriev 200 dalam misi SAR di Kalimantan Tengah itu, tetapi tak sempat merasakan mendarat atau lepas landas di air karena cuaca buruk.
Sewaktu bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 dan baru saja bencana gempa, tsunami, serta likuefaksi di Poso dan Donggala pekan lalu, kerusakan sarana bandara di Aceh dan Sulawesi Tengah mengingatkan kembali pada pentingnya armada udara dan terutama pesawat amfibi yang dapat mendarat di sungai, teluk, bahkan perairan terbuka.
Era Hindia Belanda
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menyadari pentingnya menjaga transportasi antarpulau di Nusantara dengan berbagai sarana laut dan udara, termasuk pesawat amfibi.
Awal abad ke-20, ketika teknologi dirgantara mulai berkembang semasa Perang Dunia I, beragam rancangan pesawat amfibi disiapkan Pemerintah Negeri Induk di Belanda untuk operasionalisasi di Hindia Belanda dengan dikendalikan Dinas Penerbangan Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Marine Luchvaart Dienst/MLD) yang didirikan di Texel, Belanda, tahun 1914.
Tom Womack dalam buku The Dutch Naval Air Force against Japan; The Defense of the Netherlands East Indies, 1941-1942 (Jefferson, NC: McFarland & Company, 2006) mencatat, Markas MLD di Hindia Belanda terpusat di Morokrembangan, Surabaya, yang kini menjadi bagian markas TNI Angkatan Laut. Markas MLD didirikan tahun 1926.
Adapun pada pulau-pulau dan pangkalan besar, pihak Belanda menempatkan satu flight sebanyak tiga pesawat amfibi yang dioperasikan MLD dari Sumatera sampai wilayah timur Nusantara di Maluku, Kepulauan Sunda Kecil, dan Papua.
Beragam jenis pesawat amfibi dioperasikan di Nusantara ketika itu. Sebagian besar adalah buatan pabrikan Fokker milik Anthony Fokker yang kelahiran Blitar, Jawa Timur. Beragam pesawat amfibi tersebut antara lain Fokker B.I buatan tahun 1922, dengan awak empat orang yang memiliki tiga kokpit terbuka, yang digunakan MLD dan memiliki catatan operasional yang baik.
Selanjutnya, varian Fokker C.VII-W dengan dua awak dan diperlengkapi senapan mesin ringan serta rak penempatan bom di bagian belakang, dibuat di Belanda dengan keseluruhan produksi 30 unit. Dalam buku Jane’s All the World’s Aircraft 1928 (London: Sampson Low, Marston & Company, Ltd.), disebutkan sebanyak 12 unit pertama langsung dikirim untuk dioperasikan di Hindia Belanda.
Pesawat jenis ini aktif dioperasikan MLD hingga tahun 1940 dan ketika Perang Pasifik pecah, masih digunakan sebagai pesawat latih hingga bulan Maret tahun 1942.
Varian lain adalah Fokker C.XI-W yang dioperasikan dengan dilontarkan dari kapal perang melalui alat katapel (catapult). William Green dalam buku Warplanes of the Second World War: Volume Six, Floatplanes (Macdonald, London, 1962) menuliskan, menyusul keberhasilan uji coba terbang dengan diluncurkan dari katapel tahun 1935, MLD memesan 13 unit C.XI-W yang beberapa di antaranya ditempatkan di kapal penjelajah HNLMS Tromp dan HNLMS De Ruyter.
Kapal penjelajah De Ruyter kelak tenggelam dalam pertempuran Laut Jawa pada 28 Februari 1942 di utara Surabaya dekat Pulau Bawean di Jawa Timur.
Jenis Fokker amfibi lain adalah Fokker C.XIV-W yang dirancang sebagai pesawat intai maritim tahun 1930-an. Sebanyak 11 dari 24 unit yang dibuat ditempatkan di Hindia Belanda.
Michael J. H. Taylor dalam Jane’s Encyclopedia of Aviation. London: Studio Editions (1989) mencatat, sisa dari Fokker C.XIV-W yang lolos ke Inggris saat Nazi Jerman menyerbu Belanda tahun 1940 kemudian dikirim ke Hindia Belanda. Namun, semuanya hancur ketika Jepang menyerang pada awal tahun 1942.
Jenis pesawat amfibi lain buatan Fokker adalah seri T, yakni Fokker T.IV dan Fokker T.VIII. Fokker T.IV adalah pesawat amfibi empat awak dengan fungsi pengebom dan torpedo serta intai maritim yang terbang perdana tahun 1927.
Bill Gunston dalam buku The Encyclopedia of the World’s Combat Aircraft (Feltham, Middlesex, UK, 1977) mencatat, Fokker T.IV memperkuat MLD sejak dekade 1927 dan diperbarui tahun 1935 hingga serangan Jepang tahun 1942.
Sementara Fokker T.VIII memiliki mesin ganda sebagai pesawat amfibi dengan kemampuan pengebom-torpedo serta intai yang beroperasi sejak tahun 1938. Fokker T.VIII juga digunakan Angkatan Udara Inggris (RAF) dan Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe). Belum sempat Fokker T.VIII dioperasikan sebagai pesawat amfibi baru di Hindia Belanda, Perang Dunia II berkecamuk di Eropa.
Pesawat amfibi non-Fokker yang dioperasikan MLD adalah Dornier Do 24 buatan Jerman dengan tiga mesin dan PBY Catalina yang bermesin ganda buatan Amerika Serikat. Dalam Kompas.com pada 11 November 2010 diceritakan kiprah Do 24 dan PBY Catalina. Penulis David Mondey dalam buku Axis Aircraft of World War II menulis, Kerajaan Belanda secara khusus memesan pesawat Dornier Do 24 dari Jerman.
Sebagian pesawat Do 24 dibuat berdasarkan lisensi di De Schelde, Belanda. Schelde merupakan kawasan industri dan galangan kapal yang hingga kini memasok sebagian kebutuhan TNI Angkatan Laut. Dornier 24 mengusung tiga mesin dan didesain untuk dioperasikan di Hindia Belanda pada tahun 1935.
Dornier 24 menggantikan peran pesawat amfibi Dornier Wals. Semula dipesan 48 pesawat Do 24. Sebanyak 25 pesawat diserahkan kepada Kerajaan Belanda dan dikirim ke Nusantara. Perang Dunia II keburu pecah di Eropa, Belanda pun diduduki Jerman. Sebanyak 11 Dornier 24 yang sedang dibangun di Schelde itu pun disita pihak Nazi.
Semasa Hindia Belanda hingga tahun 1980-an, turut dioperasikan pula pesawat amfibi legendaris buatan Amerika Serikat, yaitu Consolidated PBY Catalina. David Mondey dalam buku American Aircraft of World War II mencatat, PBY Catalina adalah pesawat amfibi dengan populasi terbanyak di dunia.
Diperkirakan lebih dari 4.000 unit Catalina dibuat di sejumlah negara. Catalina memiliki jasa besar dalam Perang Pasifik. Catalina bersama Dornier 24 menjalankan peran penting sebagai pesawat intai, evakuasi, dan menurunkan bantuan.
Menjangkau kawasan terdepan
Tercatat Catalina beroperasi di danau di sekitar Pangalengan dan Situ Bagendit di Jawa Barat menjelang jatuhnya Pulau Jawa. Steve McCormack dalam buku You Will Die in Singapore menulis betapa dia dan para pelarian dari pertempuran Singapura yang terapung-apung di Selat Malaka diselamatkan pesawat amfibi Hindia Belanda. Pesawat-pesawat amfibi digunakan untuk mengevakuasi warga dari pelbagai tempat.
Sejarawan Didi Kwartanada mencatat, tokoh nasional yang dibuang di Banda Neira juga diungsikan Hindia Belanda dengan pesawat amfibi. Setelah era kemerdekaan, TNI AU mengoperasikan Catalina hingga tahun 1980-an.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU pada tahun 2010, Marsekal Pertama Bambang Samoedro, menerangkan, pesawat amfibi bernaung di bawah Skuadron Udara Intai 5 di Malang. ”Pesawat yang digunakan adalah PBY Catalina dan Grumman Albatross. Sekarang sudah tidak ada lagi pesawat amfibi dioperasikan TNI AU,” ujarnya.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo yang ditemui akhir Oktober 2010 mengatakan, keberadaan pesawat amfibi merupakan salah satu sarana penting untuk menjangkau kepulauan terdepan di Indonesia. ”Pesawat amfibi memiliki peran penting dalam tanggap darurat,” kata Dudi. Salah satu contoh adalah penanganan kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan Timur tahun 1997.
”Waktu itu disewa pesawat amfibi water bomber Beriev 200 buatan Rusia. Pesawat itu juga memiliki bucket untuk mengangkut air Sungai Mahakam atau dari danau yang ditumpahkan ke sumber api,” ucap Dudi yang ikut meliput dalam operasi pemadaman kebakaran hutan tersebut.
Pesawat sejenis yang populer di dunia saat ini adalah Bombardier CL-142 buatan Kanada. Jepang juga memiliki pesawat sejenis, yakni Shinmaywa US-2, yang merupakan turunan dari tipe pesawat amfibi yang mereka gunakan semasa Perang Dunia II, Kawanishi.
Pesawat amfibi, lanjut Dudi, dapat digunakan untuk mengedrop tenaga bantuan, logistik, hingga evakuasi medis secara cepat. Kini, tidak satu pun pesawat amfibi dioperasikan militer atau pihak swasta di Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sejumlah teluk, sungai besar, dan danau yang ideal menjadi ”lapangan udara” bagi pesawat amfibi.