Joseph Goebbels (1897-1945), tokoh penting Nazi, bilang, ”Siapa yang bicara pertama kali, dialah yang benar.” Dalam sejarah tercatat, Goebbels adalah pendesain kebohongan nomor satu di dunia. Ia seorang propagandis yang mengawal sepak terjang Hitler dengan Nazi-nya semasa Perang Dunia II pada dekade 1940-an. Goebbels mendesain propaganda menyebar kebohongan untuk membentuk opini publik dan menguasai massa. Ia mewanti-wanti, kebohongan harus diulangi terus-menerus, lama-lama dipercaya sebagai ”kebenaran”.
Di zaman sekarang, kebohongan dan kebenaran nyaris sulit dibedakan. Di era digital yang serba terbuka saat ini, orang justru lebih senang beraktivitas dalam kegelapan ruang-ruang yang pengap. Orang tak merasa penting untuk menemukan celah kebenaran. Sebuah informasi diterima begitu saja tanpa reserve. Sudah berulang kali dikampanyekan think before sharing, klarifikasi, bertabayun, tetapi sebatas di bibir. Kasus kebohongan Ratna Sarumpaet yang mengaku sebagai korban pengeroyokan sejumlah orang dan ternyata sebuah skenario kebohongan menjadi puncak gunung es.
Banyak orang ”percaya” begitu saja ketika Ratna mengaku dipukuli oleh 2-3 orang di dekat bandara di Bandung pada 21 September 2018 seusai menghadiri konferensi internasional di kota itu. Bahkan, calon presiden Prabowo Subianto juga percaya. ”Apa yang dialami Ibu Ratna ini tindakan yang di luar kepatutan, tindakan jelas melanggar HAM, dan tindakan pengecut karena dilakukan terhadap ibu-ibu yang usianya sudah 70 tahun,” kata Prabowo di Jakarta, Selasa (2/10/2018) malam-malam.
Bahkan, ketika seorang penyanyi yang juga dokter bedah, Tompi, dengan cuitannya meragukan muka bengkak Ratna akibat penganiayaan, setidaknya dua elite politik setingkat Wakil Ketua DPR malah mempertanyakan kualitas keahlian dokter Tompi. Faktanya, pada hari dikabarkan Ratna dikeroyok, ternyata ia ada di Jakarta dan berada di sebuah rumah sakit bedah: Ratna melakukan operasi plastik. Sudah, ya, untuk perdebatan luka bengkak itu sudah jelas bukan karena pengeroyokan. Jangan ragukan lagi, kebenaran sudah terkuak. Penduduk senegeri dibohongi. Mereka yang percaya Ratna dikeroyok pun tak pantas lagi berdalih macam-macam. Tak usah ngeyel atau malu untuk mengakui sebuah kebenaran. Jangan membiarkan diri terbenam dalam kepicikan. Dan, Prabowo secara gentle meminta maaf atas reaksinya yang dinilainya sendiri grusa-grusu.
Sebetulnya hal yang tampak bodoh dan memalukan itu tak perlu terjadi jika akal sehat dan kewarasan masih dipegang teguh. Persoalannya, di zaman digital ini, kebenaran nyaris tak lagi punya ruang. Nafsu kuasa membuat akal sehat mati. Maka, skenario pengeroyokan itu dapat menjadi propaganda politik. Dalam propaganda, emosilah yang diaduk-aduk. Nilai-nilai moral dilempar jauh-jauh. Secara implisit ada pihak lain di balik peristiwa itu dan itu bisa menunjuk lawan politik. Skenario pengeroyokan bisa menjadi amunisi untuk menembak lawan politik.
Namun, untunglah kebenaran masih bersinar di bumi Indonesia. Dan, tak perlu lagi berdalih macam-macam: merasa tertipu juga oleh Ratna hingga konspirasi teori Ratna untuk menggembosi kubu Prabowo. Persoalannya sederhana saja, terbiasa tidak menggunakan ”pikir itu pelita hati”. Barangkali terbiasa dengan ”merasa paling benar” sehingga setitik kebenaran dari arah lain selalu ditutup. Di panggung politik, sikap seperti itu lebih parah lagi karena dikalahkan syahwat berkuasa, yang terkadang tak sempat lagi mengendapkan pikiran agar lebih jernih.
Inilah yang mengkhawatirkan karena kita semakin menjauh dari titik kebenaran. Andrew Keen (The Cult of the Amateur, 2007) sudah mengingatkan bahwa internet tidak hanya mendemokratisasi informasi di luar imajinasi manusia yang paling liar, tetapi juga menggantikan ilmu pengetahuan (knowledge) dengan kebijakan kerumunan (the wisdom of crowd) yang sesungguhnya berbahaya karena mengaburkan garis antara fakta dan opini, yang menimbulkan gaung perdebatan dan spekulasi. Di dunia internet, algoritma membentuk gelembung di mana orang makin terkurung dalam ruang sama yang diisi orang-orang yang sepandangan (filter bubble). Bisa jadi mereka merasa paling benar, tetapi sebetulnya mereka terisolasi. Tak mengherankan, Tom Nichols (The Death of Expertise, 2017) mengatakan, ketidaktahuan atau kebodohan sekarang menjadi mode mutakhir.
Paling memprihatinkan, kasus Ratna Sarumpaet menginterupsi kepedihan bangsa ketika korban gempa-tsunami-likuefaksi di Palu dan Donggala bergeletakan. Di tengah bencana kemanusiaan, kebohongan juga menjadi tragedi manusia yang lain. Kasus Ratna ibarat likuefaksi di panggung politik. Sekaranglah titik berputar meluruhkan dan menenggelamkan semua kebohongan ke dasar bumi. Kasus itu harus menyadarkan bahwa kebohongan merusak nilai-nilai dan martabat manusia. Jangan gara-gara nafsu kekuasaan, kebohongan disulap menjadi cara efektif untuk membenamkan kebenaran. Ini merusak demokrasi. Michiko Kakutani (The Death of Truth, 2018) mengatakan, ”Tanpa kebenaran, demokrasi tertatih-tatih.”