JAKARTA, KOMPAS—Hasil audit sampah yang dilakukan Greenpeace Indonesia menunjukkan kemasan dari 797 merek makanan atau minuman, kecantikan atau kesehatan, dan produk rumah tangga dari berbagai merek mengotori pantai. Selain perubahan perilaku konsumen, penyediaan fasilitas pengelolaan sampah, dan penegakan hukum, produsen perlu kreatif mengubah kemasan ramah lingkungan.
Kemasan produk seperti sachet umumnya terdiri atas dua lapisan jenis plastik. Itu membuat industri daur ulang tak meliriknya karena pemrosesan susah dan tak ekonomis. ”Kami berharap pihak industri berniat baik dan berinisiatif menawarkan solusi. Sebab, kita tahu soal pencemaran lingkungan seperti itu,” kata Noer Adi Wardojo, Kepala Pusat Standardisasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kami berharap pihak industri berniat baik dan berinisiatif menawarkan solusi. Sebab, kita tahu soal pencemaran lingkungan seperti itu.
Noer Adi menyampaikan hal itu, Jumat (5/10/2018), di Jakarta seusai menyosialisasikan Konferensi Ke-14 Asia Pacific Roundtable for Sustainability Consumption and Production dan 2nd Indonesia Resource Efficiency Forum & Expo 2018 pada 12-14 November 2018 di Jakarta.
Ia mengatakan masih sedikit produk kemasan mengklaim ramah lingkungan. Harapannya, produsen yang swadeklarasi itu bisa mengajukan standardisasi ke KLHK. Kini baru kantong plastik yang teruji klaim ramah lingkungan dan memiliki Standar Nasional Indonesia.
”Inisiasi ini penting agar kita tidak saling tunggu dan melangkah. Produsen bergerak, konsumen bergerak, dan pemerintah juga ikut bergerak,” katanya.
Manfaat ekonomi
Selama sampah kemasan teronggok dan belum dimanfaatkan secara ekonomi, solusinya antara lain pemusnahan. Mekanisme lain berupa membebankan tanggung jawab menarik kembali kemasan oleh produsen (extended producer responsibility) yang disusun KLHK.
Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, mengingatkan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah memberikan kewajiban kepada produsen untuk menuntaskan sampah yang dihasilkannya. Warga mengonsumsi plastik sekali pakai karena suplai masif dari produsen produk kebutuhan sehari-hari.
Ia mendorong agar produsen mengubah model bisnisnya dengan mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Di sisi lain, pemerintah harus tegas terhadap produsen seperti tertuang dalam UU No 18/2008. Kebijakan pemerintah sejauh ini dinilai belum kuat.
Kehadiran Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pun belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasannya menjadi bisa dipakai terus-menerus atau diisi ulang. Aturan itu mengutamakan produksi plastik mudah terurai dan bisa didaur ulang, dalam arti sekali pakai.
”Jika kebijakan perusahaan dan pemerintah sebatas daur ulang dan memakai plastik ramah lingkungan, target Indonesia mengurangi 70 persen sampah plastik di laut pada 2025 hanya angan,” kata Atha.