Sebagaimana Hipertensi, Epilepsi merupakan Penyakit Kronis yang Bisa Diobati
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Di masyarakat masih ada anggapan bahwa orang dengan epilepsi harus dijauhi karena membahayakan. Meskipun begitu, Aska Primardi (34) tak pernah merisaukan stigma tersebut. Dia tak pernah menutupi dan tak kuatir orang lain tahu bahwa dirinya menderita epilepsi.
Dia menyarankan penderita epilepsi tidak menutup diri. Jika menutup diri, hal itu justru membuat orang lain bingung dan salah penanganan ketika kejang terjadi. Seperti yang pernah dialaminya, ketika ia mengalami kejang, orang di sekitarnya menahan tubuhnya dengan kuat sehingga menyebabkan bahunya geser.
Epilepsi juga tidak menghentikan masa depan kariernya. Saat ini Aska bekerja sebagai manajer riset di perusahaan swasta. Aska menunjukkan prestasinya untuk meyakinkan perusahaannya dan orang di sekitarnya bahwa epilepsi tidak untuk dijauhi. Setelah ia menjalani operasi pada 2007, kejang yang dialaminya sudah jarang terjadi.
Aska menunjukkan prestasinya untuk meyakinkan perusahaannya dan orang di sekitarnya bahwa epilepsi tidak untuk dijauhi.
”Yang penting tahu kondisi tubuh sendiri, jangan sampai terlambat makan dan terlalu lelah,” katanya di Jakarta, pertengahan September 2018.
Epilepsi adalah gangguan fungsi otak akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari sel-sel otak. Biasanya gangguan ini terjadi secara mendadak, dalam waktu sejenak, dan berulang.
International League Against Epilepsy (ILAE) mencatat, ada sekitar 50 juta penyandang epilepsi di dunia. Diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun. Di Indonesia, ada sekitar 2 juta penyandang epilepsi dengan kejadian 50-70 kasus per 100.000 penduduk.
Bangkitan atau kejang merupakan salah satu gejala epilepsi yang paling mudah dilihat. Meski begitu, tidak semua kejang merupakan kejang epilepsi. Selain secara semiologi dengan melihat bentuk bangkitan dengan kasatmata, butuh beberapa pemeriksaan untuk memastikan seseorang mengalami epilepsi.
Sejumlah pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah dengan pemeriksaan neurologis (saraf), rekaman aktivitas listrik otak atau elektroensefalogram (EEG), pemeriksaan dengan magnetic resonance imaging (MRI), atau pemeriksaan lain, seperti positron emission tomography (PET) scan dan single photon emission computed tomography (SPECT) scan.
Semakin cepat diagnosis epilepsi ditegakkan, penanganan yang diberikan akan semakin cepat sehingga risiko kondisi epilepsi yang lebih buruk bisa diminimalkan. Namun, data Badan Kesehatan Dunia menyatakan, 90 persen orang yang mengalami bangkitan atau kejang tidak terdiagnosis dan terobati dengan benar.
Data Badan Kesehatan Dunia menyatakan, 90 persen orang yang mengalami bangkitan atau kejang tidak terdiagnosis dan terobati dengan benar.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Hasan Machfoed mengatakan, diagnosis epilepsi sangat penting untuk menentukan tipe bangkitan epilepsi, sindrom epilepsi, dan obat yang dikonsumsi.
”Semakin cepat diagnosis epilepsi ditegakkan, akan mempercepat penanganan sehingga risiko akan memperkecil untuk menjadi epilepsi refrakter,” ujarnya.
Epilepsi refrakter terjadi apabila pasien tetap tidak bisa mengontrol bangkitan meskipun sudah mendapatkan pilihan obat antiepilepsi yang tepat dengan dosis maksimal dan dikonsumsi dengan benar. Epilepsi ini termasuk jenis epilepsi yang sulit diobati.
Untuk bangkitan epilepsi yang sulit diatasi dengan obat, pembedahan bisa menjadi salah satu alternatif. Tindakan bedah epilepsi bisa membuat penyandang bebas kejang sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan otak lebih lanjut. Meski begitu, operasi baru bisa dilakukan apabila semua pemeriksaan menunjukkan hasil yang sesuai.
Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia yang juga dokter spesialis saraf Irawati Hawari menyampaikan, epilepsi merupakan jenis penyakit kronis yang bisa dikontrol dengan obat. ”Tidak berbeda dengan penyakit kronis lain seperti hipertensi, kejang pada epilepsi bisa dikontrol dengan obat,” ucapnya.
Tidak sedikit juga masyarakat yang justru membawa keluarganya yang memiliki epilepsi ke pengobatan alternatif. ”Baru setelah kondisinya lebih parah, pasien dibawa ke dokter,” lanjutnya.
Tidak berbeda dengan penyakit kronis lain seperti hipertensi, kejang pada epilepsi bisa dikontrol dengan obat.
Irawati mengatakan, edukasi dan informasi terkait epilepsi perlu lebih masif disebarkan ke masyarakat. Apabila dalam suatu waktu berhadapan dengan orang dengan epilepsi yang sedang mendapatkan bangkitan, sebaiknya jangan panik. Pastikan terlebih dahulu penderita tersebut jauh dari bahaya, seperti benda tajam atau benda yang bisa menimbulkan benturan.
Kemudian, upayakan orang dengan epilepsi tersebut dalam kondisi pernapasan baik. Secara perlahan, longgarkan ikat pinggang atau baju penderita untuk memperlancar pernapasan. Selain itu, perlu dihindari memasukkan barang ke mulut penderita karena hal tersebut justru bisa bahaya jika tertelan atau bisa menyebabkan gigi patah.
”Biasanya, bangkitan atau kejang ini terjadi beberapa waktu, sekitar 30 detik sampai 2 menit. Jadi, lebih baik dibiarkan saja. Setelah penderita sadar, ia akan tidak tahu atau lupa apa yang barusan dialaminya,” ujar Irawati.