Rumah ideal terkadang tidak bisa dicapai sesuai keinginan. Dibutuhkan kesabaran untuk menantinya tumbuh dan siap. Kuncinya, membuat rencana induk sejak awal yang disirami dengan nilai-nilai keluarga agar kelak tumbuh dan berkembang sesuai impian.
Di atas lahan seluas 200 meter persegi, pasangan muda Yudhi Puspa Tia (34) dan Tri Budiarto (34) membangun mimpinya. Oleh karena sama-sama berprofesi sebagai arsitek, keduanya ingin rumah mereka kelak dilengkapi dengan studio kerja arsitek.
Sadar bahwa keinginan mereka tidak bisa diwujudkan sekaligus, pasangan Tia dan Budi, sapaan keduanya, kemudian mencicil mimpinya. Setelah berhasil membeli sebuah kapling tanah di dekat rumah orangtua Tia di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, keduanya kemudian membangun rencana induk (masterplan) rumah.
”Penginnya, sih, langsung jadi lengkap, tetapi karena kebutuhan juga banyak, akhirnya rencana pembangunan kami bagi tiga tahap,” ungkap Tia di ruang keluarganya yang hangat, Sabtu (22/9/2018).
Akhir pekan adalah waktu kumpul dan bersantai keluarga karena sehari-hari Tia harus berkantor di sebuah BUMN konstruksi. Pagi itu, anak keduanya, Banyu (3), sedang bermain games di ponsel sambil tidur-tiduran di sofa yang ada di ruang keluarga. Sang kakak, Biyyu (7) juga sedang asyik menekuni permainan di komputer pribadi yang ada di ruang kerja orangtua mereka. Letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga.
Ruang keluarga ini luas dengan hanya satu set sofa empuk yang menghadap televisi di atas panel yang menempel di dinding. Di atas TV terlihat hiasan dinding yang diberi pot tanaman. Dindingnya berupa bata ekspos bercat putih yang memberi tekstur pada ruangan.
Baik panel maupun hiasan dinding merupakan buatan Budi yang senang bertukang. Barang lain yang terlihat di ruang itu hanyalah kipas angin duduk, sebuah keranjang mainan, kursi tunggal dari kulit, dan meja sudut kecil. Ruangan ini dibiarkan minim perabot agar bisa digunakan untuk bermain Banyu dan Biyyu.
Ruang keluarga, dapur, ruang tidur yang berfungsi sekaligus sebagai ruang kerja, dan ruang servis adalah bagian rumah yang masuk pembangunan tahap pertama pada tahun 2012. Tia dan Budi menguras tabungan mereka untuk menyelesaikan tahap ini. Dua pohon di lahan itu, yakni pohon mangga di bagian depan dan pohon rambutan di area tengah, tetap dipertahankan. Keduanya kemudian menamakan rumah mereka sebagai rumah dua pohon.
Dapur merupakan jantung kehidupan di rumah ini selain ruang keluarga. Dengan konsep yang memang mengutamakan banyak bukaan, dapur juga dibuat terbuka yang terhubung langsung dengan ruang keluarga dan teras belakang.
Di bagian yang terhubung dengan halaman belakang, dinding dapur dibuat terbuka dengan konsep seperti warung. Di bagian atas, dipasang jendela lipat yang mudah untuk buka tutup, sedangkan bagian bawah dipasangi alas yang menjadi meja makan.
”Karena saya senang masak dan makan, dapur mendapat perhatian besar. Sambil masak, saya ingin bisa tetap lihat anak-anak goler-goler di ruang keluarga atau lari-larian di halaman belakang. Saya juga senang kalau mereka mencari saya ke dapur,” ungkap Tia.
Rambutan
Keberadaan pohon rambutan di dekat dapurlah yang memberi inspirasi keduanya untuk membuat ruang makan ala warung. Jadilah dapur dan meja makan yang menyambung ala warung makan. ”Waktu itu membayangkannya, enak kali ya kalau bikin seperti warung di bawah pohon,” lanjut Tia yang membuat akun khusus di Instagram untuk rumahnya.
Akun ini beserta akun pribadi dan akun suaminya cukup banyak menarik pengikut yang tertarik dengan pembangunan rumah tumbuh. Tia sering membagi tips dan trik seputar rumah di akun media sosialnya. Ia juga rutin menulis untuk sebuah situs web tentang renovasi rumah.
Setelah empat bulan kelar pembangunan tahap satu, Tia dan Budi kembali menabung yang ternyata makan waktu tiga tahun sebagai modal pembangunan tahap kedua. Di tahap ini, keduanya membangun kamar tidur utama lengkap dengan toilet di bagian belakang rumah agar privasi lebih terjaga. Dibangun pula kamar tidur anak di lantai dua. Kamar-kamar ini dari bawah hingga ke atas diberi dinding kaca yang menghadap ke halaman belakang sehingga sangat berlimpah cahaya. Dinding lainnya disusun dari bata ringan (hebel) ekspos.
Sambil menunggu dana terkumpul, keduanya justru jadi punya waktu untuk memilih material alternatif yang sesuai namun harganya terjangkau. Misalnya, kusen untuk kaca yang semula baja diganti dengan besi hollow (besi berbentuk pipa kotak yang tengahnya bolong). Agar tak mudah berkarat, besi hollow dilapisi zat antikarat. Material struktur tangga dari rencananya beton diganti besi hollow, sedangkan pijakan tangganya diganti dengan kayu jati belanda. Daun pintu dari kayu diganti dengan material GRC (semacam gipsum, tetapi lebih keras). Pegangan pintunya dibuat dari potongan dahan pohon rambutan yang justru memberi kesan unik dan nyeni.
”Kami eksperimen pakai material baru yang aplikasinya tidak terlalu butuh jasa tukang yang notabene mahal. Lumayan bisa berhemat 40 persen karena ada yang bisa dikerjakan sendiri oleh suami, misalnya mengelas besi hollow,” ungkap Tia.
Budi juga yang membuat sebagian besar perabot rumah, seperti lemari pakaian, meja, ambalan TV, dan wall hanging. Bengkel kerjanya terletak di lantai dua yang diakses dengan ”tangga monyet” dari atas kolam ikan di teras belakang. Namun, keduanya tidak terlalu suka memasang terlalu banyak ornamen dan dekorasi di rumah. Ini agar rumah tidak cepat terlihat berantakan mengingat kedua anak laki-laki mereka sedang aktif-aktifnya bergerak.
Budi dan Tia masih menyisakan ”PR” sisa pembangunan tahap ketiga, yakni membuat studio kerja di lantai dua, memindahkan ruang servis ke atas, seperti ruang cuci, kamar asisten rumah tangga, serta membuat taman di atap (roof garden).
”Membuat rumah tumbuh itu mungkin sekali asalkan kita membuat masterplan rumah dulu agar tak banyak membongkar bangunan. Untuk menyusunnya, kita perlu merenung, kira-kira 5, 10, atau 15 tahun lagi, kita akan beraktivitas apa saja di rumah ini, karena rumah menunjukkan cara hidup kita,” ucap Tia.