Fantasi Habsari
Setelah 23 tahun menjadi bankir di delapan bank asing, Habsari Budhi Utami (46) menolak tawaran jabatan ”head regional”. Ia mengejar mimpi pensiun di usia 40 tahun, lalu mendedikasikan diri untuk pendidikan. Darinya lahir aplikasi pendidikan berbasis siswa: Skoline.
Habsari mengimani bahwa pendidikan berkualitas harus murah, menyenangkan, dan fleksibel. Masih segar dalam ingatannya ketika dia menapaki usia 40 tahun dan masih bekerja sebagai direktur di bank asing. Sambil memandang ke bawah dari ruang kerjanya yang berada di ketinggian Jakarta Pusat, ia merasa beruntung bisa menapaki jabatan tinggi sebagai seorang perempuan Indonesia. ”Ada dorongan saya ingin memberi balik. Saya utang dengan negara ini. Saya ingin berkontribusi dengan menolong orang yang kurang beruntung,” kata Habsari.
Ditemui di rumahnya di Jakarta Selatan, Habsari serius membangun materi belajar bagi siswa usia sekolah dasar (SD) bersama anak-anak muda kreatif. Di komputer-komputer di ruang tengah, mereka membuat sketsa gambar, motion graphics,hingga musik. ”Semua harus di bawah approval saya. Ketika approve, I wish if only materi belajar kayak gini ada waktu saya SD. Karena everything become easy,” kata Habsari sambil menyuguhkan segelas minuman alpukat dengan madu Baduy.
Pada saat masih bekerja sebagai bankir, 30 persen dari penghasilan bulanannya rutin disisihkan untukanak Indonesia. Begitu pensiun, Habsari membangun Skoline yang harus bisa diakses oleh semua anak Indonesia. ”Saya ingin perusahaan tetap menguntungkan supaya enggak disetir orang. Berdiri di kaki sendiri, tetapi orientasinya adalah visinya. Visi kami membantu anak-anak untuk gemar belajar,” tuturnya.
Pengalaman profesional sebagai direktur treasury yang bertanggung jawab mengelola aset perbankan menjadi salah satu bekal mengelola Skoline agar tetap menguntungkan. Meski harga langganannya sangat murah, hanya Rp 15.000 per bulan, Skoline tetap akan menguntungkan karena Indonesia adalah pasar potensial dengan jumlah anak usia SD mencapai lebih dari 25 juta anak. Dengan Rp 15.000, Skoline menyediakan 250 modul pembelajaran untuk anak kelas I-VI SD.
Habsari selalu memulai tiap tahapan baru hidupnya dengan terus belajar tentang pekerjaan dan produk yang dijual sebelum kemudian mengajarkannya kepada klien. ”Klien mengerti bahwa produk kami bagus. Big keyword-nya learn dan teach. Meski terlihat berbeda, yang satu finansial yang lain pendidikan, basic element-nya sebetulnya sama,” ujarnya.
Pendekatan langsung
Selain aplikasi pembelajaran daring berbayar, Skoline juga tersedia secara luring yang kebanyakan didonasikan bagi anak-anak miskin. Enam bulan lalu, misalnya, sebuah institusi dari Korea memberi bantuan 40 tablet yang dilengkapi aplikasi pendidikan Skoline untuk anak-anak di Dusun Hu’u, Nusa Tenggara Barat.
Kehadiran Skoline yang diperuntukkan bagi anak SD di seluruh penjuru Indonesia ini berawal dari mimpi menumbuhkan kegemaran belajar dalam diri anak-anak. Secara alamiah, setiap anak senang belajar. Namun, karena ada suatu proses yang salah dalam pembelajaran, anak-anak menjadi tidak lagi suka belajar. ”Di Asia enggak ada yang seperti Skoline. Yang base kurikulum, story telling, ada karakter building, dan mengenalkan aspek moral,” ujar Habsari.
Skoline dibangun berdasarkan riset dengan pendekatan langsung ke sekolah. Setelah nyemplung menyelami dunia pendidikan ke kampung-kampung hingga pelosok terpencil, Habsari menemukan bahwa persoalan riil pendidikan terutama terjadi di level sekolah dasar. Siswa SD yang mencapai 25 juta siswa adalah jumlah besar dan kompleks.
Kompleksitas persoalan pendidikan di level SD bisa dilihat dari tingginya angka tinggal kelas yang diumumkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa ada 400.000 anak SD yang tidak naik kelas di Indonesia. Sebanyak 64 persen adalah mereka yang tidak naik dari kelas I ke kelas II. Dari temuan Skoline di sekolah-sekolah di Mampang, Jakarta Selatan; Lumajang, Jawa Timur; dan Lembang, Jawa Barat; ternyata kebanyakan gagal di pelajaran Bahasa Indonesia.
”Bahasa Indonesia adalah foreign language karena sehari-hari pakai bahasa ibu dan hanya jadi bahasa pergaulan kalau di Jakarta,” kata Habsari.
Temuan di sekolah-sekolah itu selaras dengan isu sangat rendahnya budaya literasi di Indonesia. Benang merahnya terletak pada tidak adanya reading comprehension atau pemahaman bacaan. Aktivitas guru semakin banyak dalam hal mengajar dan administrasi sehingga kuantitas dan kualitas jam belajar anak dan guru menjadi minimum. Orangtua juga menyerahkan persoalan pendidikan 100 persen ke sekolah. Sekolah lalu punya cara pintas. Anak diajari pintar mengerjakan soal, tetapi bukan belajar.
Platform digital sengaja dipilih karena anak-anak SD tergolong generasi digital natives yang lahir pada era kemajuan teknologi informasi. Ketika mengajar anak-anak yang tinggal kelas di Mampang, Skoline memberikan tambahan jam pelajaran Matematika yang dianggap sulit. Begitu diajak belajar dengan tablet, anak-anak itu segera tertarik dan nilai mereka terdongkrak pesat.
Tertinggal jauh
Kecintaan pada dunia pendidikan dibangun karena Habsari gemas membaca data bahwa Indonesia semakin tertinggal. The 2018 Global Talent Competitiveness Index, misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia menempati ranking ke-77 untuk seluruh dunia. Posisi ini di bawah Malaysia. Padahal, ketika ia masih bekerja di Bank of America pada 1995, tim dari Malaysia dititipkan kepada Habsari untuk belajar dari Indonesia.
”Saya gemes. Daripada menyalahkan pemerintah, apa yang bisa kita lakukan? Kebetulan passion saya di anak dan belajar. Pindah haluan, mumpung belum tua. Kalau bekerja sesuai calling pasti bahagia. Happy kalau bisa merahmati,” kata Habsari yang sedang membangun jaringan komunitas Skoline Inspiring People di kalangan mahasiswa.
Kemampuan berwirausaha juga dibangun Habsari sejak mahasiswa. Ketika masih di bangku kuliah, ia sudah membangun bisnis rental komputer di depan kampus. Lulus kuliah, ia langsung bekerja di bank asing. Pernah minder karena kebanyakan rekannya adalah lulusan luar negeri, Habsari mengandalkan hobi belajar untuk meraih sukses.
Ketika memutuskan pensiun dari perbankan, Habsari juga membuat perusahaan Canting Rumah Kreasi yang seluruh keuntungannya digunakan untuk membantu anak-anak Indonesia. Lewat divisi penerbitan bukunya, Canting Exploring Indonesia telah meluncurkan beberapa buku. Hasil penjualan buku tentang Kepulauan Komodo, A Prayer to Conserve the Natural Beauty of Komodo Islands Indonesian Archipelago, yang ditulis Habsari, misalnya, digunakan untuk membangun sekolah alam yang mengajarkan Bahasa Inggris bagi siswa SMP di Pulau Komodo.
Lepas dari status karyawan, pekerjaan kini menjadi suatu kesenangan bagi Habsari. Ia bisa berfantasi seliar mungkin dalam membangun kualitas pendidikan yang diimpikan tanpa ada batasan. ”This is diri saya sendiri. Semua yang konvensional akan sunset. Yang lagi picking up adalah teknologi. So, I come across. Saya loncat ke teknologi. Satu-satunya yang enggak akan bisa diambil alih artificial intelligence adalah kreativitas, ” kata Habsari.
Habsari Budhi Utami
Pekerjaan:
- 1993-2007: Bekerja di beberapa bank, seperti BOT, Bank of America, ABN Amro, dan Danamon
- 2007-2013: Treasury Director OCBC Bank
- 2013-2016: Chief in Corporate Banking CIMB Niaga
- 2016-sekarang: Pendiri dan CEO Skoline Indonesia
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, lulus awal tahun 1993